RAJA PARHATA DULU DAN KINI

Oleh: Waldemar Simamora.

Editor: Hotli Junaidi Sianturi.

Gempuran globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di satu sisi berdampak positif terhadap kesejahteraan atau peningkatan taraf hidup manusia. Namun disisi lain, juga berimplikasi terhadap efek negatif pada nilai-nilai sosial budaya yang masih hidup dalam masyarakat. Seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai sosial budaya (pranata-pranata sosial) termasuk kearifan lokal yang dianggap baik pada zamannya mengalami proses pergeseran makna dan melahirkan nilai-nilai baru, sehingga dikuatirkan nilai-nilai hakiki termarjinalkan. Makna yang kurang lebih sama dapat disimak dalam sepenggal lirik lagu Batak yang berbunyi: “ai nunga mumpat angka talutuk, da nunga sega gadu-gadu, ai nunga salpu uhum na buruk, da nunga ro uhum na baru …”

Proses degradasi makna itu sepanjang dapat diterima dan paralel dengan kemajuan zaman adalah baik dan tidak ada masalah. Yang menjadi persoalan adalah timbulnya efek negatif terhadap lunturnya nilai-nilai sosial budaya sehingga cenderung dalam berbagai hal menjadi bersifat kebendaan (materialisme).

Budaya Batak tentu saja tidak luput dari gempuran globalisasi mengalami proses yang tidak jauh berbeda dari budaya daerah lain di persada nusantara. Salah satu bagian penting dalam praktek pelaksanaan upacara adat perkawinan adalah peran dan fungsi Raja Parhata yang memikul tanggung jawab dalam menjalankan fungsi strategis untuk mengendalikan 3 (tiga) hal pokok yakni tata upacara, tata tempat, dan tata penghormatan yang telah dipraktekkan dalam upacara-upacara adat ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang silam berdasarkan falsafah dan adat Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga). Sayangnya, justru Raja Parhata menurut berbagai pemerhati budaya Batak yang menaruh perhatian dan kepedulian terhadap budaya Batak semakin krisis dewasa ini, baik aspek kualitas maupun kuantitas di tano Batak (orang Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari lebih gamblang dinamai Batak, penduduknya mayoritas bertempat tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Samosir).

Pertanyaannya adalah benarkah Raja Parhata semakin krisis dewasa ini di tano Batak? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita bertolak terlebih dahulu terhadap pengertian Raja Parhata.

PENGERTIAN

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut atau dengan sebutan lain dalam pengertian sempit adalah juru bicara dalam upacara adat perkawinan Batak Toba. Dalam pengertian luas adalah seseorang yang memiliki pemahaman yang luas terhadap budaya Batak pada umumnya dan adat istiadat khususnya.

Ciri utama Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut ialah mahir berbicara dalam bertutur kata dengan menggunakan bahasa dan unsur seni sastra Batak yang khas.

Fungsi utama Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah mengendalikan pembicaraan dalam dialog adat dan seluruh rangkaian upacara adat perkawinan. Selain itu, Raja Parhata juga memiliki pemahaman yang luas tentang silsilah (tarombo) dan sistem kekerabatan yang amat penting diketahui dalam hubungannya dengan upacara-upacara adat pada umumnya dan upacara adat perkawinan khususnya.

Sesungguhnya, bukan hanya di kalangan Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang memahami hal yang disebut terakhir namun pada umumnya di kalangan orangtua tempo dulu. Tambahan lagi, selain peran dan fungsi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang disebut di atas juga merupakan regulator dan mediator dalam upacara adat perkawinan di satu sisi, sedangkan di sisi lain ia merupakan “perpustakaan hidup” dalam pengertian sastra lisan dapat dijadikan sebagai rujukan dan referensi bagi orang lain untuk lebih memahami bahasa, unsur sastra, petuah/nasihat (poda) terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal serta adat istiadat Batak.

Yang dimaksud disini dengan dialog adat adalah pada umumnya upacara-upacara adat didahului dengan dialog yang bersifat formal dari pembukaan acara sampai pada penutupan menjelang berakhirnya upacara adat. Kini marilah kita beralih terhadap keadaan dan masalah dalam proses pengkaderan Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut dewasa ini.

KEADAAN DAN MASALAH

Dengan mengacu pada pengertian yang menyangkut peran dan fungsi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang telah diperankan pada masa silam, maka keadaan dan masalah yang dihadapi belakangan ini adalah sebagai berikut;

Pertama, kurangnya kepedulian bagi sebagian di kalangan yang lebih muda (baca: kaum bapak) untuk menggeluti adat istiadat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu disamping kurang berjalannya aspek pembinaan dari kalangan yang lebih tua dalam proses pengkaderan yang merupakan cikal bakal calon Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut bagi kalangan yang lebih muda. Artinya, adanya rasa enggan dari kalangan yang lebih tua untuk mendelegasikan wewenang terhadap kalangan yang lebih muda pada saat berlangsungnya upacara-upacara adat dengan berbagai alasan yang bersifat negatif.

Kedua, adanya persepsi yang salah bahwa menjadi seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut haruslah mempunyai bakat dan biasanya mereka berasal dari kalangan “parpollung tubu”. Kamus Batak Indonesia, buku karangan J. P. Sarumpaet, MA menyebutkan parpollung tubu adalah ahli debat atau pidato yang ulung (hal. 217).

Ketiga, sebagian diantara kalangan yang masih relatif muda masih memahami sebagian adat istiadat, namun akibat kurangnya keberanian dan kepercayaan diri, sehingga merasa enggan berbicara di depan umum atau orang banyak ketika upacara-upacara adat sedang berlangsung, ada kalanya dalam bahasa Batak masitugan-tuganan atau menyingkir ke warung kopi untuk menghindari tanggung jawab.

Keempat, sebagian diantara kaum bapak jarang mengikuti upacara-upacara adat terkait dengan faktor sosial ekonomi yakni faktor kesibukan untuk mencari nafkah keluarga, hal ini mungkin berkorelasi dengan rendahnya sumber daya manusia (SDM). Tentunya kita tidak akan berhenti sampai di situ. Komitmen dari semua stakeholder, peran atau partisipasi kecil atau besar sangat diharapkan.

Penulis ingin mencoba mengajukan konsep pemecahan melalui solusi alternatif yang akan diuraikan berikut ini.

SOLUSI ALTERNATIF

Sejak kurun waktu yang lama terutama di daerah perantauan termasuk juga di tano Batak telah terbentuk berbagai perkumpulan Marga. Salah satu urgensi terbentuknya perkumpulan marga itu adalah urusan adat perkawinan dan adat istiadat lainnya. Bagi perkumpulan marga yang konsisten melakukan pembinaan budaya Batak di lingkungan Marga yang bersangkutan, penulis mengucapkan terima kasih. Namun bagi perkumpulan marga yang kurang memperhatikan hal yang sedang dibicarakan, maka penulis dengan rendah hati ingin mengajak berbagai perkumpulan marga untuk berpartisipasi dalam menyikapi masalah yang dipaparkan diatas. Menurut hemat penulis, pewarisan nilai-nilai budaya Batak secara harfiah, mungkin kurang efektif, sebaiknya format / pendekatan yang akan dilakukan adalah bersifat kreatif dan inovatif dalam konteks yang lebih luas. Perbincangan di seputar adat istiadat dapat dilakukan melalui pertemuan yang bersifat formal. Namun tidak kalah pentingnya jika pertemuan yang dilakukan juga bersifat non formal melalui diskusi-diskusi, ceramah-ceramah, konseling keluarga dan bentuk lain, hal ini juga merupakan bagian pembinaan budaya Batak. Pemahaman yang dimiliki kalangan yang lebih muda melalui berbagai aktifitas tersebut akan menjadi bekal nanti sebagai nilai “praksis” pada saat berlangsungnya upacara-upacara adat. Selanjutnya kalangan yang lebih tua dari berbagai perkumpulan marga merasa ikhlas memberi kesempatan terhadap kalangan yang lebih muda dalam konteks “jambar hata” (hak angkat bicara) pada upacara-upacara adat yang digelar. “mata guru roha sisean” (pengalaman itu guru yang terbaik). Ungkapan ini hendaknya menjadi pegangan untuk dihayati dan diamalkan di kalangan yang lebih muda termasuk generasi muda orang Batak. Keterampilan berbicara dan pemahaman adat istiadat yang dimiliki kalangan yang lebih muda menjadi saingan bagi kalangan yang lebih tua? hal ini adalah persepsi negatif. Manakala pemahaman ini benar, bukan bersaing melainkan bersanding. Menurut hemat penulis, tidak ada hal yang dipersoalkan atau hal yang diperebutkan jika mereka kelak menjadi Raja Parhata. Selain itu, adanya persepsi yang salah bahwa menjadi seorang Raja Parhata haruslah mempunyai bakat dan juga parpollung tubu. Untuk menjadi seorang Raja Parhata, bakat hanya dibutuhkan 2%, sisanya yang 98% adalah tekad dan kemauan yang bertitik tolak dari belajar dan belajar.

Untuk mengembangkan gagasan ini secara konkret, penulis memohon bantuan dan partisipasi dari berbagai perkumpulan marga termasuk pembaca yang budiman.

Alternatif lain yang dapat ditempuh adalah melalui pembinaan Lembaga Adat Dalihan Na Tolu (LADN) atau dengan sebutan lain. Pada dasarnya LADN adalah kumpulan dari berbagai tokoh adat yang berasal dari Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut dan atau ahli adat istiadat. Konsep pembinaan melalui peran serta LADN telah melakukan berbagai kegiatan positif dalam memelihara dan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya Batak pada umumnya dan adat Dalihan Na Tolu khususnya. Jika program yang akan diajukan sudah terprogram pada LADN, penulis mengucapkan terima kasih. Namun, jika program yang akan diajukan ini belum, maka penulis sangat menghormati dan menghargai keberadaan LADN dengan mempertimbangkan konsep melalui tulisan ini.

Dengan kondisi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang dinilai berbagai pihak semakin krisis dewasa ini di tano Batak, maka berbagai upaya dan langkah ke depan yang akan ditempuh adalah sebagai berikut. Pengkaderan bagi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut dapat dilakukan melalui penyelenggaraan semacam kursus atau pelatihan atau dengan sebutan lain yang dianggap lebih cocok dan relevan. LADN dapat menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai perkumpulan marga, sehingga pengurus marga dapat memberi “mandat” terhadap anggotanya untuk mengikuti kegiatan tersebut berdasarkan persyaratan dan atau kriteria yang telah dirancang sebelumnya oleh LADN.

Jalur strategis lainnya adalah menyelenggarakan “dialog adat” melalui diskusi-diskusi, ceramah-ceramah dan bentuk lain yang bersifat terbuka. Sejalan dengan pembinaan yang akan ditempuh dengan cara diatas, mungkin dalam waktu yang bersamaan juga dapat menyelenggarakan lomba karya tulis (LKT) bagi generasi muda orang Batak dengan berbagai topik yang akan diperlombakan. Melalui penyelenggaraan lomba karya tulis ini, generasi muda orang Batak akan belajar pada orangtua dan atau mencari bahan tulisan melalui bacaan buku-buku, majalah, koran dan lain-lain sebagai bahan referensi. Mungkin hal ini dapat diprogramkan menjadi agenda tetap yang akan diselenggarakan LADN secara berkelanjutan.

Kembali ke masalah kursus, pelatihan atau dengan sebutan lain bagi kader Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut, penulis ingin menyampaikan materi atau mungkin lebih tepat dinamai “kurikulum adat” yang akan digumuli peserta adalah:

  1. Sistem kekerabatan Batak dan silsilah (tarombo).
  2. Naskah dialog adat dan rangkaian upacara.
  3. Materi tentang umpama, umpasa, hata mutiha dan seni sastra yang lain.
  4. Materi tentang jenis, fungsi dan penggunaan Ulos Batak.
  5. Pemahaman tentang jambar-jambar.
  6. Berbagai petuah / nasihat (poda) yang berkaitan dengan kearifan lokal.
  7. Materi tentang potensi daerah.

Bentuk lain yang dapat dijadikan sarana pembinaan budaya Batak adalah melalui studi kepustakaan. Buku merupakan salah satu sumber belajar. Bayangkan, jika setiap perkumpulan marga rela memberi / menghibahkan satu buah buku yang bernuansa budaya Batak sebagai bentuk partisipasi, maka akan terkumpul puluhan atau bahkan ratusan buku-buku sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan anak-anak kita (generasi muda orang Batak). Penulis menaruh harapan yang besar terhadap gagasan ini dan akan melakukan konsultasi ke berbagai pihak terutama kalangan yang menaruh perhatian dan kepedulian terhadap budaya Batak.

KESIMPULAN

  1. Bertanggungjawab atas pendelegasian wewenang selaku regulator dalam memimpin penyelenggaraan upacara-upacara adat tanpa mengharapkan imbalan / jasa.
  2. Untuk itu perlu diwujudkan kesepakatan dan komitmen kita bersama untuk merumuskan langkah-langkah yang bersifat konkrit dan komprehensif dalam proses pengkaderan Raja Parhata terutama bagi kalangan kaum bapak yang masih relatif muda dan pembinaan budaya Batak yang berkelanjutan terhadap generasi muda orang Batak.
  3. Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut merupakan rujukan dan referensi bagi orang banyak dalam pewarisan nilai-nilai budaya Batak. Penggunaan bahasa Batak melalui upacara-upacara adat dan komunikasi dalam lingkungan keluarga merupakan unsur penting untuk membendung kepunahan bahasa ini sebagai salah satu bahasa daerah yang penting dan terkemuka di nusantara. Hal ini menyangkut jati diri dalam arti yang luas. “jolma na lilu do na so tumanda dirina”. (kerdil seseorang yang tidak mengenal jati dirinya). Pauk pauk hudali tu pago-pago tarugi, na tading ni ulaki, na sala pinauli. Botima jolo sahali on pamasa na uja, horas jala gabe.

PEMECAHAN MASALAH

Dari : Hotli Junaidi Sianturi

  1. Bagaimana caranya mengubah persepsi atau anekdok dari kaum milenial dan generasi yang relative lebih muda yang berpendapat bahwa; ‘mereka belum saatnya ikut dalam pelaksanaan acara adat budaya seperti pesta pernikahan/perkawinan karena sangat menyita waktu dan membosankan, jadi biarkan saja kegiatan itu menjadi tugas dan tanggung jawab mereka yang sudah pensiun (untuk ukuran umur)?’
  2. Setali tiga uang bagaimana caranya mengubah karakteristik dari oknum-oknum Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang mana; ‘seolah-olah menjalani profesi tersebut adalah zona nyaman bagi mereka, sehingga mereka tidak nyaman dengan istilah kaderisasi, karena dianggap akan mengancam zona nyaman itu yang belum mau mereka lepas’.
  3. Padahal pada kenyataannya apa yang dikerjakan oleh mereka yang berprofesi menjadi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah pekerjaan dan tanggung jawab yang sungguh berat dipundak mereka dari berbagai aspek, menjadi ujung tombak sebagai pelestari Adat Budaya Batak dengan konsep esensial efektif dan efisien. Dalam artikel yang ditulis oleh Bpk. Thomson HS; “Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut harus mampu serta berupaya keras untuk menciptakan kenyamanan, keamanan, kebahagiaan, suka cita pihak-pihak yang terlibat di dalam pesta atau ulaon adat.” Oleh karena itu, kita penting memikirkan dan mendapatkan solusi pemecahan masalah bagaimana agar kesejahteraan dari mereka yang berprofesi menjadi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut itu bisa lebih baik.
  4. Untuk diketahui saja bahwa saat ini mereka yang sudah pensiun (untuk ukuran umur) dan berprofesi menjadi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut itu hanya mendapatkan ucapan dan uang terimakasih dari Hasuhuton sebagai upa loja yang tidak mungkin ada patokannya. Dengan sangat tegas kita menyerukan; Apabila kita belum termasuk yang memberi Solusi agar kesejahteraan dari mereka itu lebih baik, apa yang bisa dikatakan? Stop berkomentar dan apalagi melabeli ‘Mereka itu tamak dan rakus (mongkus, siahut, ormus) pada parjambaran, baik jambar hata, jambar uang maupun jambar daging (jagal). Kita tidak lebih baik dari mereka yang sudah berbuat dengan segala keterbatasannya.

USULAN DAN SOLUSI

Dari : Hotli Junaidi Sianturi

Usulan Solusi agar kesejahteraan dari Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut itu lebih baik:

Tanggungjawab bersama dengan bentuk iuran, sumbangan dan sipalas roha langsung atau tidak langsung dari pihak-pihak sbb dibawah ini:

  1. Organisasi marga-marga,
  2. Anak sibulang-bulangan (tokoh publik, birokrat, teknokrat) dari tiap marga,
  3. Pengelola gedung, balai pertemuan dan mitra-mitranya yang digunakan sebagai halaman untuk hasuhuton.