Marga dan Sistem Kekerabatan Salah satu keunikan yang dimiliki Bangso Batak adalah melekatnya marga pada nama diri (proper name). Perlu dipahami bahwa marga bagi orang Batak bukan menunjukkan kelompok suku atau bukan dimaksud untuk menunjukkan satuan besar atau satuan kecil suatu kelompok. Marga mencakup persoalan yang kompleks. Tidak saja berbicara soal kelompok tetapi juga berhubungan dengan sistem sosial seperti aturan perkawinan, aturan perkabungan, aturan penguburan, dan lain sebagainya.
Lalu apa pengertian marga dalam khasanah kekerabatan orang Batak Toba? Secara sederhana marga dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama atau keturunan yang berasal dari satu nenek moyang. Berarti orang Batak Toba menganut sistem garis keturunan bapak (patrilineal) sehingga keturunan (anak-anak) mengikuti marga dari orang tua laki-laki.
Bungaran Antonius Simanjuntak dalam buku “Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945” mengatakan, “Orang Batak mengenal marga dengan arti satu asal keturunan, satu nenek moyang, satu perut asal (sabutuha). Marga merupakan suatu kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama.”
Berarti orang yang semarga dalam Batak Toba adalah orang yang berasal dari satu garis keturunan dari pihak orang tua laki-laki. Pada setiap anak Bangso Batak Toba baik itu laki-laki maupun Perempuan secara otomatis melekat marga orang tua laki-laki sehingga anak laki-laki dan perempuan tersebut masuk dalam kelompok dongan sabutuha. Namun ada sedikit perbedaan pada anak perempuan Batak Toba. Jika anak perempuan Batak Toba menikah, maka si perempuan tersebut akan mendapat tambahan marga dari laki-laki yang menjadi suaminya untuk selanjutnya si perempuan masuk dalam kelompok marga dari suaminya.
Marga tidak hanya sekedar menyangkut identitas keluarga dan nenek moyang tapi juga status sosial. Yang dimaksud dengan status sosial di sini adalah untuk menentukan hubungan persaudaraan (partuturan=menelusuri mata rantai silsilah kekerabatan) baik dengan yang semarga maupun dengan yang lain marga seperti marga dari ibu, kakek dan nenek dari bapak, serta kakek dan nenek dari ibu. J.C. Vergouwen mengatakan, “Orang Batak memiliki minat yang tinggi terhadap terminologi partuturan atau martuturtutur karena untuk mengetahui hubungan kekerabatan dengan orang lain sehingga dapat mengetahui bagaimana saling bertutur sapa.
Selain itu marga berfungsi untuk menentukan kedudukan seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan dalihan na tolu. Dengan demikian fungsi marga baik secara vertikal dan horizontal untuk mempermudah mengetahui hubungan sosial di dalam masyarakat Batak Toba sehingga kehidupan bersosial orang Batak Toba teratur dan saling menghormati antara satu dengan lainnya.
Orang Batak Toba mengenal juga sistem kekerabatan dalam lingkup yang lebih kecil (keluarga). Kakak adik di seluruh garis keturunan lakilaki dari satu bapak (ama) memiliki panggilan tersendiri. Anak laki-laki sulung dipanggil siahaan, anak laki-laki tengah dipanggil silitonga dan anak laki-laki bungsu dipanggil siampudan atau sianggian. Adik memanggil kakak yang lebih tua dengan dahahang dan kakak memanggil adik dengan anggi. Panggilan dahahang dan anggi merupakan bagian dari istilah yang disebut marhaha-maranggi. Istilah marhaha-maranggi tidak hanya berlaku bagi kakak adik dari satu ama tapi juga berlaku terhadap sepupu dan lainnya.
Sistem kekerabatan orang Batak Toba juga berhubungan dengan perkawinan. Orang Batak Toba dahulunya mengenal sistem perkawinan poligini (memiliki isteri lebih dari satu) dengan alasan mendapatkan banyak keturunan (parbalga tubu) dan memperkuat balatentara dalam rangka untuk memperluas teritori. Namun umumnya orang Batak Toba mengenal perkawinan monogami atau satu laki-laki dan satu perempuan.
Meski demikian, dalam rangka menjaga kemurnian keturunan, maka laki-laki Batak Toba akan dinikahkan dengan anak perempuan paman (tulang) dari pihak keluarga ibu si laki-laki (pariban). Namun yang paling utama untuk dipelihara dari aturan perkawinan adalah larangan menikah dengan perempuan dari marga bapak atau perempuan yang satu marga dengan laki-laki tersebut. Larangan tersebut merupakan bentuk proteksi agar tidak terjadi perkawinan satu darah (incest) atau satu marga.