Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga)
Istilah Dalihan Na Tolu itu sering disingkat dengan DNT. Dari segi arti, kata Dalihan Na Tolu itu diartikan dengan tungku nan tiga. Kalau masyarakat Batak itu diumpamakan sebuah kuali, maka DNT itulah tungkunya. Dan biasanya tungku yang digunakan tempat kuali untuk memasak sesuatu terdiri dari tiga batu, dan kalau tungku itu terbuat dari besi, tungku itu mempunyai tiga kaki. Dan oleh ketiga kaki itulah tungku itu kuat tempat duduknya periuk atau kuali. Dan karena tungku itu pulalah terjadinya keseimbangan kuali atau periuk yang digunakan menanak nasi di atasnya, dan dari situ pulalah menyala api solidaritas masyarakat.
Dalihan Na Tolu itu terbagi atas tiga golongan fungsional. Ketiga golongan itu tak berobah sejak dahulu sampai sekarang. Malah secara kultural, diatasnyalah terletak perbagai segi kehidupan masyarakat Batak. Di mana ada masyarakat Batak di sana secara otomatis berlakunya fungsi DNT itu. Masyarakat itu selalu berpedoman pada DNT dalam segala geraknya, termasuk dalam usaha menegakkan pergaulan dan adat istiadat. Dalam selama orang Batak tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi DNT tetap bermanfaat mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
Dalam kehidupan sosial, DNT merupakan landasan demokrasi dalam setiap rencana, baik dalam pembangunan kampung, dan ketetapan-ketetapan hukum adat yang selalu menitikberatkan pada sistem gotong royong. Dalam segala bentuk mufakat yang diketuai oleh seorang pengetua atau raja adat tidak pernah menarik kesimpulan atau keputusan sebelum mengadakan pungutan suara. Hampir dalam setiap rencana yang berhubungan dengan adat mendasarkan keputusan setelah terlebih dahulu mengadakan musyawarah. Malah sistem musyawarah itu merupakan falsafah hidup masyarakat Batak.
Perkawinan yang dipandang mendatangkan tuah bagi kedua mempelai harus disahkan oleh DNT. Kalau terjadi perceraian maka persoalan bukan saja ditangani oleh suami istri yang bersangkutan, tetapi juga ditangani oleh DNT. Penyimpangan dari prinsip DNT dalam hubungan suami istri akan menimbulkan kericuhan yang harus pula ditangani oleh DNT itu. DNT itu dihubungkan dengan animisme Batak. Dalam animisme Batak terdapat kepercayaan “tritunggal dewa”, antara lain yang disebut Mula Jadi Na Bolon atau Khalik Pencipta, Silaon Na Bolon dan Pane Na Bolon atau & Batara Guru. Ketiga dewa itu melukiskan alam kosmos. Menurut alam pikiran orang Batak purba, alam kosmos itu terdiri dari tiga benua, antara lain; benua atas, benua tengah, dan benua bawah. Mula Jadi Na Bolon adalah sebagai penguasa benua atas dan ia disebut Tuan Bubi Na Bolon atau Mangala bulan. Sebagai penguasa benua tengah ia juga disebut Silaon Na Bolon, dan Mula Jadi Na Bolon yang menguasai benua bawah disebut Pane Na Bolon. Dan Mula Jadi Na Bolon digambarkan sebagai kosmos. Sebagaimana dewa-dewa itu memainkan fungsinya sesuai dengan kedudukannya menguasai kosmos, demikianlah DNT itu satu sama lain bekerja sama menertibkan masyarakat. Sebagaimana dasamya bahwa manusia itu tidak terlepas dari alam. Manusia itu sendiri satu dengan alam. Manusia adalah kosmos kecil (mikrokosmos) dari makrokosmos. Jadi DNT merupakan refleksi dari kerja sama ketiga benua, atas, tengah, dan bawah. Oleh Pederson menulis: “Untuk melindungi diri terhadap satu sama lain dan untuk memelihara keseimbangan mikrokosmos, orang Batak membentuk suatu alat untuk menyelaraskan kuasakuasa supra alamiah di sekeliling mereka untuk kesejahteraan mereka sendiri. Keselarasan ini terkandung dalam paham adat yang meskipun pada umumnya diterjemahkan dengan hukum adat, sebenarnya merupakan suatu paham yang lebih rumit dengan arti yang luas.”
DNT dalam Tiga Golongan Fungsional. Sistem DNT dalam masyarakat Batak terbagi atas tiga golongan fungsional. Ketiga golongan itu adalah sebagai berikut;
Dongan Sabutuha (yang lahir dari perut yang sama). Secara luas, orang yang sabutuha adalah orang-orang yang semarga. Sifat-sifat orang yang sabutuha adalah seia sekata dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan adat dan kehidupan sehari-hari. Sebagai orang-orang yang semarga, mereka seperasaan, sepenanggungan sebagai saudara kandung. Oleh karena pada mulanya orang-orang yang semarga itu tinggal dalam satu kampung (huta), maka mereka secara gotong-royong mengerjakan sawah ladang, mengutip hasilnya, mengurus pengairan, membersihkan pancuran dan juga mengawinkan anak. Jika timbul perselisihan antara orang yang bersaudara, pihak dongan sabutuha turut menanganinya untuk menciptakan perdamaian. Dan golongan putra putri yang semarga dilarang kawin-mawin. Istilah dongan sabutuha itu sering pula disebut dongan tubu artinya kawan lahir. Di Mandailing disebut kahanggi, dan di Karo disebut senina. Di daerah Dairi istilah dongan sabutuha itu disebut juga dengan istilah sabeltek. Meskipun penggunaan istilah itu berbeda, namun arti dan makna kata itu sama saja. Dalam arti luas, orang yang disebut sabutuha adalah orang-orang yang semarga, dan dalam arti sempit melukiskan hubungan kekeluargaan dekat yang masih sedarah, artinya masih dekat hubungan kekeluargaannya satu sama lain.
Boru itu adalah anak perempuan. Yang termasuk golongan boru dalam masyarakat Batak antara lain: Suarni anak perempuan dan anak-anaknya, orang tua suami dan dongan sabutuha suaminya. Istilah boru di Karo disebut anak bere; di Mandailing dan Simalungun disebut dengan anak boru; dan di Dairi atau Pakpak disebut berru. Orang Batak sangat mencintaj pihak borunya. Walaupun pihak boru ini tidak ikut menjadi pewaris orang tuanya, namun mereka sangat dicintai. Malah pada zarnan dahulu mereka dihadiahi dengan sebidang tanah setelah dinikahkan dengan suarninya. Istilah untuk itu disebut pauseang atau ulos na soolo buruk yang dilambangkan sebagai kain yang tidak akan buruk/usang. Jikalau diadakan pesta di halaman sebab perkawinan iparnya (lae atau adik atau abang istri) merekalah yang ditugaskan menyayang dagu pihak hula-hula seraya menyampaikan bagian atau jambar menurut letak kedudukannya dalam DNT. Demikian pula boru itu dihormati juga oleh pihak borunya. Kalau pihak mereka mengadakan pesta, maka pihak borunyalah yang bertugas mengurus pesta itu. Demikianlah seterusnya orang mempunyai dongan sabutuha, mempunyai boru, dan hula-hula yang dapat hidup tertib berdasarkan DNT itu.
Golongan hula-hula adalah pihak yang memberi pengantin perempuan. Semua dongan sabutuha orang tua pengantin perempuan menjadi hula-hula bagi pihak pengantin laki-laki. Yang termasuk hula-hula, yakni bukan saja pihak mertua dan golongan semarganya, tetapi juga tulang (parnan), yakni saudarasaudara ibu (maksudnya yang laki-laki). Tegasnya yang disebut golongan hula-hula itu ialah pihak yang memberi putri. Dan perkawinan dengan putri tulang atau paman merupakan perkawinan ideal bagi orang Batak zarnan dulu sampai sekarang. Perkawinan demikian disebut juga dengan kawin pariban. Tetapi tidak seorang pun yang dapat mengawini anak saudara ayah, atau yang tergolong masih semarga, karena mereka dianggap masih bersaudara.
Pihak hula-hula itu dipandang pihak boru sebagai matahari kemuliaan karena dari merekalah pihak boru itu mendapat berkah. Setiap orang Batak selalu menghargai pihak hula-hulanya. Kalau hula-hula mengunjungi boru oleh karena kewajiban adat, maka mereka harus membawa ikan (dengke) yang sudah dimasak baik-baik bersama nasi. Demikian pula dengan boru kalau mengunjungi hula-hula sebab kewajiban adat, harus membawa daging bersama nasi. Daging yang akan dibawa itu tidak boleh sembarang daging, tidak boleh daging yang dibeli dari pasar. Membawa daging dari pasar jagal (onan) kurang menghormati pihak hula-hula. Daging yang dimasak haruslah yang berasal dari daging hewan yang dipotong baik serta mengikut sertakan bagian-bagian penting menurut letak yang ditetapkan hukum adat. Kalau seorang wanita disia-siakan atau diceraikan oleh suaminya, maka pihak hula-hula harus melindunginya. Pihak dongan sabutuha, pihak boru harus pula aktif mengatasi persoalan itu. Hormat pada pihak hula-hula adalah salah satu sebab mengapa tidak mudah terjadi perceraian di kalangan suku Batak. Dalam segala bentuk upacara orang Batak, maka landasan gerak dan tindak tanduk hams didasarkan atas Dalihan Na Tolu itu. Dan mereka yang berstatus hula-hula diperlakukan sebagai hula-hula yang dipandang mewakili ilahi dalam masyai:akat.
Demikian sekilas uraian tentang masyarakat Batak dengan sistem Dalihan Na Tolu yang tengah dihidupkan di tengah-tengah masyarakat Batak, baik mereka yang tinggal di daerah asal atau di daerah perantauan. Dan kelestarian adat, sistem nilai hidup dan kehidupan kultural masyarakat geneologis suku Batak tetap didasarkan atas falsafah Dalihan Na Tolu itu.
Sifat gotong-royong, sistem musyawarah dalam bentuk persidangan merupakan satu ciri dalam demokrasi Dalihan Na Tolu yang murni dan itulah landasan hidup masyarakat umumnya. Dalihan Na Tolu dan Tutur Sapa. Hubungan antara satu marga dengan marga lainnya sangat erat sekali bagi orang Batak. Hubungan antara marga secara umum ataupun secara perorangan diatur berdasarkan Dalihan Na Tolu, sebagaimana yang telah diuraikan di muka. Fungsi DNT dalam hubungan sosial dan korelasi dalam masyarakat antar marga turut mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutuf sapa itu. Kaya atau miskin, hina atau mulia, tidak akan mengubahkan hubungan berdasarkan DNT itu. Yang patut dimuliakan harus dimuliakan walaupun dia miskin atau hina, sebagaimana yang patut dilaksanakan kepada pihak hula-hula.
Sifat-sifat Dalihan Na Tolu
Sifat-sifat dan tanggung jawab seseorang anggota masyarakat sebab Dalihan Na Tolu (DNT) didasarkan atas kesadaran yang terus menerus hidup dan akan dihidupkan sebagaimana tercermin dalam DNT itu orang-orang semarga haruslah menyadari bahwa mereka adalah dalam satu kesatuan sebelum bermusyawarah dalam rencana-rencana, baik dalam pesta atau duka cita. Pada mulanya mereka aalah dalam satu kesatuan sebelum anggota-anggotanya lebih banyak. Tetapi karena mereka berkembang begitu cepat, sehingga sebagian dari mereka harus pindah ke tempat lain dan membangun kampung atau huta. Perpindahan itu terdorong pula untuk mencari tempat pemukiman yang lebih subur, sehingga marga itupun dibagilah menurut pekerjaan adat. Tetapi meskipun mereka sudah berpisah, mereka tetap dalam satu kesatuan pekerjaan adat. Sifat gotong-royong tetap dipupuk. Mereka bersama-sama memperbaiki pengairan, memperbaiki pancuran dan membersihkan sumber mata air untuk diminum penduduk kampung. Secara bergotong-royong mereka meramu kayu ke hutan untuk alat-alat atau perkakas rumah, dan sama-sama pula membangun rumah.
Mereka juga bersama-sama mengawinkan anak. Mereka bersama-sama melaksanakan acara-acara agama (ritus) seperti acara pemujaan untuk meminta berkah agar basil sawah melimpah dan inilah yang disebut bius. Orang cenderung lebih mencintai boru (putri) sebelum dan sesudah kawin, daripada saudara-saudaranya sendiri. Di mana saja ada pesta adat, pihak boru selalu dihargai dan kepada mereka diberi pembagian (jambar) menurut adat. Demikian pula pihak boru dan suaminya (hela) harus dihormati oleh pihak mertua (hula-hula). Di mana saja, pihak hula-hula dan boru harus saling menghormati. Pihak boru melihat hula-hula sebagai sinar matahari kemuliaan, sebab dari merekalah pihak boru menerima berkah. Orang-orang yang bersaudara (mardongan tubu) harus seia sekata, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul dan mereka merasakan kerja sama yang erat.
Bila mereka berselisih, tidak seorangpun dapat mencampurinya, karena besok lusa mereka akan berdamai. Pada umumnya orang Batak atau khususnya orang Toba sangat cinta dan lebih menghargai boru (puteri) dan helanya (menantunya). Walaupun pihak wanita tidak ikut serta menjadi pewaris orang tuanya, namun mereka san6at dicintai. Janganlah pihak mereka pemah disakiti, karena mereka sangat peka terhadap tindakan dan kata-kata pihak hula-hula. Tidak boleh dilupakan bahwa mereka juga dihormati dan dimuliakan oleh pihak borunya. Jadi korelasi antara dalihan na tolu itu besar artinya bagi suku Batak, bahkan itulah falsafah hidup dalam tutur sapa dan dalam kehidupan sehari-hari.
Di mana saja orang Batak bertemu selalu lebih dahulu menanyakan marga. “Jolo tinitip sanggar bahen huru-huruan. Jolo sinungkun marga asa binoto partuturan’: Artinya, harus lebih dahulu mengetahui marga, baru dapat mengetahui tutur sapa. ltulah sebabnya setiap orang tua selalu mengajarkan kepada keturunannya tentang pentingnya bertutur sapa satu sama lain. “Pantun hangoluan, tois hamagoan”. Artinya: “orang yang tahu sopan santun akan selamat; tetapi orang yang serakah akan celaka”. Demikian bunyi petuah yang selalu diajarkan orang tua kepada anakanaknya.
Kewajiban Dalihan Na Tolu
Anggota-anggota masyarakat yang semarga merupakan satu keturunan sedarah, yang berasal dari satu leluhur yang sama. Oleh ikatan darah mendorong orang-orang yang semarga itu seperasaan dan sepenanggungan. Mereka sama-sama mengawinkan anak. Dalam urusan perkawinan anak ini tampak jelas sifat kolektif di kalangan orang-orang yang semarga karena mereka masih termasuk golongan sabutuha menurut unsur Dalihan Na Tolu. Demikian pula orang tua perempuan yang dinikahkan itu tidak boleh sendirian menerima uang mahar (boli) dari pihak laki-laki. Dalam pesta perkawinan, orang tua perempuan bersama Dalihan Na Tolunya, harus menyerahkan ulos kepada orang tua laki-laki dan kepada anak dan menantunya. Demikian pula pihak Dalihan Na Tolu pihak pengantin perempuan menyerahkan ulos kepada kedua pengantin itu untuk melambangkan ikatan yang erat di antara Dalihan Na Tolu itu dengan pengantin baru, sekaligus sebagai pelambang keharnonisan yang didambakan oleh kedua mempelai.
Pendek kata bahwa di dalam segala jenis pesta, sebagaimana pada pesta pernikahan, Dalihan Na Tolu selalu memainkan perannya demi kelancaran jalannya pesta itu.
Referensi dari buku yang ditulis oleh:
Ors. Tito Adonis
Ora. Hilderia Sitanggang
Ora. Ita Novita Adenan
Ors. Binsar Simanullang.