APA DAN SIAPA RAJA PARHATA DALAM ADAT BUDAYA BATAK

Apa dan Siapa Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut dalam Adat Budaya Batak

Penulis: Drs. Thomson Hutasoit

Sumber: Blog Redaksi Deteksi

Editor: Hotli Junaidi Sianturi

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah juru bicara adat yang dipilih melalui kesepakatan berjenjang mulai dari lingkar terdekat ahli bait atau Hasuhuton hingga ke tingkat paling atas dalam satu ompu ataupun satu kelompok marga Batak Toba.

Proses kesepakatan berjenjang untuk memilih Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut di dalam Batak Toba disebut Marsirenggetan atau Marsiarisan na Mardongan Tubu sebagai implementasi Manat Mardongan Tubu yakni hati-hati, waspada, saling hormat-menghormati, seia sekata, sehati sepikir, serasa dan sepenanggungan seperti bunyi umpama,” Mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu toru”, si sada anak, si sada boru, si sada adat, si sada ulaon, si sada tano, si sada las ni roha, si sada arsak ni roha, dan lain sebagainya.

Komunitas Batak Toba dengan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; somba Marhula-hula, manat Mardongan Tubu, dan elek Marboru merupakan pranata tata hubungan interaksi Batak Toba, termasuk di dalam melaksanakan adat-budaya yang merupakan peradaban serta jati diri Batak Toba dimanapun berada.

Batak Toba terkenal sebagai masyarakat beradat dan beradab yang diwarisi sejak zaman nenek moyang dan hingga kini dipertahankan serta dilestarikan untuk merekat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yakni; marhula-hula, mardongan tubu, dan marboru bere. Hubungan interaksi kekeluargaan dan kekerabatan namardongan tubu ataupun satu marga yang hingga kini sudah ada generasi/sundut 20-25 tetap sedemikian kompak, harmonis menjadikan keakraban Batak, khususnya Batak Toba merupakan suatu hubungan istimewa jika dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain di atas dunia ini.

Bila diperhatikan dengan cermat kata kunci perekat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan Batak Toba tidak terlepas dari falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) apalagi bisa dilakukan dengan baik dan benar sesuai posisi masing-masing menurut adat-budaya warisan leluhur.

Prinsip somba (baca: hormat), manat (baca: hati-hati), elek (baca: sayang, pengayom) adalah salah satu gambaran karakter berpikir dan bertindak Batak Toba. Sehingga bila prinsip somba, manat, dan elek selalu dikedepankan di dalam hubungan komunikasi antar sesama maka kekompakan, keakraban pasti tercipta dengan baik dan benar. Semua pihak harus menyadari hak dan tanggung jawab sesuai aturan, norma, serta nilai-nilai luhur adat-budaya yang menjadi pedoman pola tingkah laku Batak Toba. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, bahwa kemajuan yang tidak dilandasi karakter, jati diri bangsa akan mengeliminasi seseorang dari komunitas bangsanya, serta capaian kemajuan tanpa fondasi.

Sebaliknya, bila generasi Batak Toba sudah meninggalkan prinsip somba, manat, dan elek maka akan sulit melakukan komunikasi yang baik dan benar antar sesama karena tidak bisa lagi memosisikan diri dengan tepat sesuai adat-budaya Batak Toba yang menjadi nilai luhur warisan nenek moyang. Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah sebuah bentuk demokrasi langsung yang dilakukan melalui musyawarah menuju mufakat bertingkat berjenjang, mulai dari paidua ni suhut, oppu martinodohon, maroppu-oppu, dan/atau tingkatan marga yang disebut panamboli pada suatu ulaon adat Batak, khususnya Batak Toba.

Tingkatan Panamboli inilah biasanya menjadi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut pada satu pesta atau ulaon adat Batak Toba. Kedudukan Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut pada suatu pesta atau ulaon adat adalah juru bicara tunggal memiliki otoritas memandu, mengarahkan, mengatur seluruh lalu lintas prosesi adat, baik Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut pihak mempelai laki-laki (baca: paranak) maupun Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut pihak mempelai perempuan (baca: parboru).

Seluruh prosesi ulaon adat dipandu, diarahkan, serta diatur oleh Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut sebagai juru bicara tunggal atas nama satu oppu dan/atau satu marga, sehingga bila prosesi pesta atau ulaon adat telah diserahkan kepada Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut maka keluarga, kerabat pihak paranak maupun pihak parboru sangat tidak elegan lagi bila masih mencampuri pembicaraan ketika Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut sedang berbicara.

Posisi strategis Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut pada sebuah pesta atau ulaon adat sama seperti seorang moderator sebuah seminar ilmiah yang mengatur, memandu, mengarahkan lalu lintas seminar agar berjalan dengan baik dan lancar sesuai aturan berseminar.

Demikian halnya, seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut bertugas, berperan mengatur, memandu, mengarahkan seluruh mekanisme prosesi pesta atau ulaon adat sejak dari pelimpahan hak dan tanggung jawab Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut melalui proses Marsirenggetan atau Marsiarisan na mardongan tubu memegang tanggung jawab penuh dengan otoritas legalitas hukum adat yang dibangun melalui musyawarah bertingkat berjenjang dari lingkaran terdekat ke lingkaran terluar dari suatu struktur komunitas Batak, khususnya Batak Toba.

Umpama Batak-Toba mengatakan; ”Molo sandunuk dangkana, sandunuk do rantingna. Molo hasuhuton hahana, angina ma parsautna, dohot sabalikna”. Artinya, jika si abangan hasuhuton maka adiknyalah Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang mengatur, mengarahkan, memandu ataupun juru bicara pesta atau ulaon adat tersebut.

Karena Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut diangkat dan/atau ditunjuk melalui musyawarah bertingkat dan berjenjang (baca: Marsirenggetan manang Marsiarisan) maka kedudukan atau posisi seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah mewakili seluruh hasuhuton, paidua ni suhut, maroppu-oppu, ataupun satu marga tertentu maka seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut bertindak atas nama seluruh komunitas tersebut. Sehingga seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut sering mengatakan, ”sada si lompa gadong, dua si lompa puli. Tung sada pe sidok hata, sude ma hita dapotan uli”. Artinya, jika satu orangpun berbicara (baca: Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut) maka seluruh komunitas mendapat berkat atau kebahagiaan.

Sebagai juru bicara tunggal memiliki otoritas seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut harus mampu memerankan diri perekat (baca: mangarangkum) seluruh pihak-pihak yang terlibat pada suatu pesta atau ulaon adat dengan selalu berikhtiar atau beraksioma, ”Marsilanlan uruk-uruk, marsilanlan aek toba, na metmet ndang marungut-ungut, namatua pe tongtong marlas ni roha”. Artinya, Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut harus mampu serta berupaya keras untuk menciptakan kenyamanan, keamanan, kebahagiaan, suka cita pihak-pihak yang terlibat di dalam pesta atau ulaon adat dengan demikian tidak ada yang bersungut-sungut atau merengkel mulai dari anak-anak hingga para orang tua.

Kualifikasi Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut

Karena itu, seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut harus memiliki kualifikasi antara lain;

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut tidak boleh lupa bahwa parjambaran pada Batak Toba ada tiga jenis, yakni; jambar hata, jambar juhut, dohot jambar hepeng (baca: berbicara, daging, dan uang), sehingga apabila pihak-pihak yang seharusnya berhak mendapatkan parjambaran terabaikan akan timbul ekses negatif dikemudian hari. Dalam bahasa Batak Toba disebut “di tean mangolu, di tanom jongjong, di apus bulung rata”. Artinya, dihitung tetapi tidak diperhitungkan atau tidak berarti apa-apa. Hal ini sangat menyakitkan karena kedatangannya pada sebuah pesta atau ulaon adat seperti “raja naro” yaitu tamu tak diundang. Selain daripada itu, seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut harus selalu berusaha menghindarkan kata-kata menurut saya, aku (baca: ningku), tetapi menurut kami, kita (baca: hami, hita) karena apa yang diutarakan seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah mengatasnamakan komunitas.

Kesimpulan

Dari berbagai kualifikasi seperti diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut didalam sebuah pesta atau ulaon adat Batak Toba sangatlah strategis karena itu harus merupakan pilihan putera-putera terbaik dari suatu komunitas yang bertindak atas nama komunitas tersebut. Karena merupakan personifikasi komunitas maka seorang Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut perlu dipersiapkan melalui kaderisasi terencana, terprogram, dan berkesinambungan agar tidak terputus mata rantai regenerasi alamiah. Artinya, Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut yang mumpuni tidak pernah kering pada suatu komunitas tertentu.

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut tidak boleh lagi hanya mengandalkan pengetahuan yang sering dilihat atau terjadi (baca: na niida, na somal diulahon halak) seperti ungkapan yang mengatakan, ”Eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula”, tetapi benar-benar melalui penggalian nilai-nilai luhur adat-budaya agar seluruh pelaksanaan pesta atau ulaon adat-budya tidak hanya bermakna seremonial buang-buang waktu dan biaya saja.

Peranan Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut untuk mengatur, mengarahkan, memandu, serta meningkatkan efektifitas serta efisiensi ulaon adat-budaya sangatlah diperlukan dengan tetap mempertahankan, melestarikan nilai-nilai luhur original adat-budaya walaupun singkat padat, tetapi tepat sasaran, sarat arti dan makna. Dengan demikian pelaksanaan adat-budaya bisa dilaksanakan dengan efektif dan efisien tetapi tetap lestari nilai original.

Raja Parhata, Parsinabul / Parsinabung dan Parsaut adalah sistem demokrasi musyawarah bertingkat berjenjang yang belakangan ini dikenal paradigma dari bawah ke atas (Bottom Up) merupakan salah satu nilai adat-budaya Batak Toba yang perlu digali maksimal menjadi sebuah model manajemen publik ataupun pemerintahan demokratis seperti demokrasi Pancasila yang dianut republik ini. Nilai-nilai luhur adat-budaya seperti ini tumbuh subur ditengah-tengah komunitas masyarakat bumi Nusantara, dan ada baiknya jika diinventarisasi maksimal untuk memperkuat hasanah budaya nasional, dan tidak mustahil akan menjadi kajian akademik bermakna luar biasa dalam sistem pemerintahan berdasar kearifan lokal. Horas!

Dari penelusuran kami di Wikipedia terkait Penulis

Bpk. Tomson Parningotan Hutasoit (dikenal sebagai Thompson Hs; lahir 12 September 1968) adalah seniman Indonesia. Namanya dikenal melalui karya sastra berupa artikel, puisi, dan esai sastra yang dimuat di sejumlah media massa seperti Media Indonesia, Majalah Tapian, Kompas, Batak Pos, dan Inside Sumatra. Di luar itu, dia juga menulis skenario dan menjadi pemain teater. Thompson merupakan pelopor bangkitnya opera Batak yang surut sejak tahun 1980-an. Dia telah menerima sejumlah penghargaan dan mementaskan karyanya di beberapa negara. Atas prestasi dan pengabdiannya di dunia kesenian, Thompson masuk salah satu sosok dari 45 tokoh inspiratif versi Harian Kompas tahun 2010.

Latar Belakang Bpk. Drs. Thomson Hutasoit Thompson Hs lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 12 September 1968. Pendidikan formalnya ditempuh di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Aktif berteater sejak masih duduk di bangku kuliah. Ketertarikannya untuk kembali menghidupkan opera Batak berawal pada tahun 2002, ketika ia menjalin komunikasi dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Saat itu ATL menggagas program revitalisasi tradisi lisan di nusantara. Perwakilan ATL di Sumatera Utara, antropolog Prof Robert Sibarani dan ahli linguistik Prof Ahmad Samin Siregar (alm) kemudian mengajaknya untuk menghidupkan kembali opera Batak. Bersama ATL, Thomson memulai proyek revitalisasi opera Batak dengan mengajari 20 pemuda di Taruntung, Tapanuli Utara, tentang seni peran hingga disiplin akting. Mereka juga diajari musik khas opera Batak. Dari sinilah terbentuk Grup Opera Silindung (GOS). Inilah kelompok Opera Batak pertama sejak kematiannya pada tahun 1980-an. Selama kurun waktu 2002-2004, GOS telah menampilkan pertunjukan opera Batak diberbagai tempat. Mulai dari kampung warga Batak Toba di Tarutung, Sipoholon, Laguboti, hingga Pematangsiantar, lalu ke Jakarta. GOS menjadi grup percontohan upaya menghidupkan tradisi lisan.