Pemahaman Setiap Tahapan dan Tata Cara Pada Upacara Adat Perkawinan
Sebelum masuk pada pemahaman dari tiap tahapan, tata cara, jenis dan nama ulos yang disampaikan pada waktu acara adat perkawinan, rasanya perlu lebih dahulu dijelaskan berbagai istilah dan kedudukan adat yang berlaku pada acara adat perkawinan. Oleh sebab ada kekhususannya dan sangat erat kaitannya dengan pemberian serta penerimaan ulos.
Perlu kiranya kita cermati langkah-langkah yang harus ditempuh menuju tercapainya rencana agar perkawinan menurut Adat Batak Toba itu. Untuk itu mari kita memulainya dengan hal-hal yang mendasar.
Pemahaman mengenai “ARTI SINAMOT”
Dahulu kala yang dimaksud dengan istilah Sinamot adalah semua pemberian Paranak kepada Suhut Parboru sebagai mas kawin, yang biasanya adalah berupa uang, tetapi ada juga kemungkinan ditambah dengan mas, kerbau, kuda dan perhiasan, satu dan lain menurut keadaan sosial ekonomis (kedudukan dan kekayaan) dari Suhut Paranak, tetapi juga memperhatikan kedudukan sosial dari Suhut Parboru, misalnya kalau berkedudukan tinggi termasuk horong Raja, Raja Bius, Raja Huta, atau pun Partubu na Bolon, maka demi prestise akan menuntut banyak. Tetapi pada umumnya Sinamot itu dibicarakan adalah dalam bentuk uang saja. Jadi Sinamot yang dibicarakan pada waktu Marhata Sinamot itu adalah jumlah uang yang akan diserahkan Paranak kepada Suhut Parboru yaitu orangtua langsung dari calon mempelai wanita. Bila sudah tercapai mufakat tentang besarnya Sinamot maka untuk ke tiga unsur Suhi ni Ampang na Opat lainnya (Paramai, Pariban dan Tulang) akan diperhitungkan masing-masing 10% dari jumlah sinamot tersebut.
Pada mulanya Tuhan Allah menciptakan manusia pertama yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kemudian Allah memberkati manusia itu dengan berfirman “beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi” (Kej 1:28). Bertitik tolak dari firman Tuhan Allah itulah perkawinan menjadi sesuatu yang bermakna sampai hari ini. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Batak Toba untuk memperoleh keturunan tentu harus membentuk keluarga dengan jalan perkawinan.
Untuk mencapai sampai ke jenjang perkawinan, seorang pemuda jaman dahulu yang ingin mencari gadis untuk teman hidupnya sebagai isteri harus lebih dahulu melalui beberapa tahap proses perjuangan untuk mendapatkan seorang gadis yang diidam-idamkan antara lain;
Angka Ulaon Di Paradaton Batak Parbogason/Perkawinan Pamuli Boru/Pangolihon Anak
- Martandang angka Naposo
- Mangaririt angka Naposo
- Patua Hata (Hata Pangaririt) tu Natua tua
- Parhusipon
- Martumpol
- Marpudun Saut
- Marhata Sinamot
- Pesta Adat
Martandang angka Naposo;
Martandang adalah cara pemuda-pemudi dahulu di Bona Pasogit untuk bisa bertemu sesama muda-mudi dan biasanya pertemuan seperti itu dilakukan pada waktu terang bulan. Si pemuda tadi harus dapat mengambil hati pemuda-pemudi setempat agar ia diperbolehkan ikut serta dalam pertemuan muda-mudi yang ada di daerah itu. la sendiri sudah tentu mengarahkan perhatiannya kepada seseorang gadis tertentu yang dituju sampai ia dapat berkenalan dengan baik. Setelah itu baru meningkat ke tahap berikutnya.
Mangaririt angka Naposo
Mangaririt yang pengertian sebenarnya adalah “mangaririti” yaitu mengadakan penyelidikan yang lebih mendalam mengenai pribadi, tingkah laku, pendidikan dan lain-lain dari si gadis. Sudah tentu dia juga harus tahu, sedikit banyak hal-hal mengenai diri orangtua si gadis, untuk diiaporkan kepada orangtuanya sendiri. Disinilah sangat berperan nasehat orang tua-tua Batak Toba zaman dulu kepada anak-anak, yang sampai zaman modern ini pun, masih tetap menempati tempat yang terhormat, dan hendaknya demikian juga di hati generasi muda sekarang yang berbunyi:
Marhusip;
Pada waktu acara Marhusip, peranan dongan sahuta cukup besar, sebab merekalah sebagai “Raja Panungkun” dalam batas-batas tertentu. Sebab bila pembicaraan sudah sampai kepada materi Sinamot dongan sahuta akan menyerahkannya kepada kedua belah pihak. “On pe nunga pajumpang mata ni ihan tu mata ni doton, antong panghataion on pinasahat ma tu hamu suhut na dua, dos ma rohamu ianggo hami dongan Sahuta manauti jala manolopi do di angka hata na uli”. Setelah tercapai persesuaian dan kesimpulan yang bulat dan memuaskan antara Suhut kedua belah pihak dari hal-hal yang dibicarakan pada acara marhata Sinamot tersebut yaitu jenis Sinamot, besarnya Sinamot, hari dan tanggal pesta dan juga tempat pelaksanaan pesta, dan gereja tempat pemberkatan perkawinan pengantin dan seterusnya telah disetujui banyaknya ulos adat yang akan diserahkan, marsibuhabuhai, paulak une, tingkir tangga dan lain-lain yang dianggap perlu umpamanya berapa ada jenis parsuhian dan biaya yang dipersiapkan. Kalau sudah jelas ini semua dibicarakan bolehlah dilanjutkan acara-acara selanjutnya.
“Pangaririt Baoa, pangariritan do Boru-boru”. Pengertian nasehat ini adalah laki-laki memang menyelidiki semua hal yang menyangkut si gadis dan orangtuanya, tetapi si gadis sendiri harus lebih cermat, lebih teliti menyelidiki hal-hal yang menyangkut diri si pemuda dan orangtuanya supaya jangan salah langkah. Demikian juga antara orangtua kedua belah pihak karena mereka akan menjadi berkeluarga (marhula/ marboru/ besanan) mengikuti anaknya masing-masing maka sebelum melangkah lebih jauh, sangat ideal jika dari jauh jauh hari orangtua si wanita sudah dapat menerima orangtua si pria dan orangtua si pria dapat menerima orangtua si wanita menjadi keluarga. Itulah dasarnya maka disebut bahwa “Perkawinan” pada masyarakat Batak Toba, adalah perkawinan keluarga. Memang benar bahwa hanya kedua penganten yang kawin, tetapi sebagai lanjutan dari perkawinan itu lahiriah kekeluargaan yang baru antara orangtua pengantin pria sekeluarga di pihak yang lain. Kekeluargaan yang baru lahir itu jelas didasarkan atas saling kasih mengasihi, sebagaimana anak-anak mereka sudah saling mengasihi. Karena kedua belah pihak sudah akan menjadi berkeluarga, sebagai lanjutan dari perkawinan anak-anak mereka maka pembicaraan selanjutnya, mengenai rencana biaya-biaya pesta perkawinan pun, tidak akan mengalami kesulitan lagi. Kedua belah pihak tentu masih menjiwai peribahasa orangtua yang mengatakan: “Sinuan Bulu Sibahen Na Las, Sinuan Partuturan Sibahen Na Horas “. Peribahasa ini berarti, bahwa kedua belah pihak yang akan menjadi berkeluarga, harus saling menghormati, saling mengerti (masiantusan) akan beratnya biaya penyelenggaraan pesta kawin dan oleh karena itu harus saling menopang, agar semuanya berjalan dengan lancar dan baik. Kini giliran orangtua yang akan melakukan persiapan kearah “Marhata Sinamot”.
Marpudun Saut
Marpudun Saut adalah lanjutan dari marhusip untuk penetapan hal-hal yang telah dibicarakan dalam acara marhusip dan marhata sinamot yang telah dijelaskan diatas. Acara ini sudah lebih meluas yang dihadiri undangan dari kedua belah pihak disamping Suhut Sihabolonan telah turut diundang dari unsur Dalihan Natolu. Dongan Tubu, Boru dan pihak Hula-hula, Dongan Sahuta, Raja Adat dan teman sejawat dari kedua belah pihak. Agar dapat hendaknya mendengar dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pesta yang akan dilaksanakan. Biasanya pada hari ini jugalah kedua belah pihak bersama undangan mengiringi Pengantin pria dan wanita ke Gereja untuk mengadakan parpadanan dalam acara martumpol dan ditentukanlah tanggal Warta Jemaat Tingting I dan II. Seterusnya sudah dapat dipersiapkan surat undangan (gokhon dohot joujou). Dimana telah dapat dijelaskan hari/tanggal acara pesta pemberkatan perkawinan dan tempat Gereja pelaksanaannya. Susunan nama-nama para pengundang pun sudah diatur sebaik-baiknya dari pihak Hasuhoton Boru dan Hula-hula jangan sampai ada dilupakan. Dalam marpudun Saut sudah ada penyerahan patujolo ni Sinamot yang diserahkan pihak Paranak ke pihak Parboru. Dalam acara marpudun Saut biasanya diakhiri pemberian uang “ingotingot” yang diterima dari kedua belah pihak oleh dongan sahuta yang berhak mengumumkan segala inti sari pembicaraan tersebut supaya saling mengingat (ingotingot) dan ditutuplah dengan nyanyian dan doa. Selanjutnya pada pesta acara perkawinan nantinya semua adat parjambaran bagi yang berhak menerima jambar nagok kepada Suhi ni ampang naopat diserahkan langsung pada waktu itu bersamaan dengan sombasomba adat “Panandaion” sesuai dengan daftar yang dipanggilkan oleh Suhut Parboru.
Marhata Sinamot;
Untuk menghindari pembicaraan yang berlarut-larut dalam pertemuan marhata sinamot, maka pertemuan tersebut didahului dengan penjajakan kesediaan masing-masing (marhorihori dinding) tentang bentuk perkawinan, bentuk dan jumlah sinamot, waktu pelaksanaan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pesta perkawinan adat. Adapun materi yang diberikan dalam acara marhorihori dinding ini adalah sebatas konsep yang akan diformalkan dalam pertemuan adat “marhata sinamot”. Sinamot adalah jumlah yang diterima oleh orangtua/kerabat calon pengantin wanita dari orangtua/kerabat calon pengantin pria dalam rangka rencana pesta perkawinan anak-anak mereka. Dalam istilah umum sinamot disebut mas kawin atau mahar. Pada masa-masa terakhir ini sudah jarang kedengaran ada marhata sinamot ini yang gagal atau buntu tidak mencapai mufakat tentang jumlahnya, oleh sebab sebelurnnya sudah dilakukan hubungan “marhusip” yaitu usaha pendekatan keinginan dan pendirian melalui pihak ketiga yang disebut “domu-domu” dan biasanya terdiri dari pihak boru atau keluarga terdekat dari pihak laki-laki. Hal ini perlu dan penting agar tidak sampai terjadi kegagalan di dalam satu forum resmi (terbuka) waktu marhata sinamot yang dapat memberi malu kepada kedua belah pihak. Walaupun pada akhir-akhir ini cara berpikir yang semakin maju menumbuhkan bahwa masalah besar kecilnya Sinamot tidak perlu lagi merupakan persoalan pokok namun peranan pihak “domu-domu” ini tidak dapat diabaikan, walaupun tidak lagi menonjol sekali seperti dahulu kala. Perkembangan akhir-akhir ini yang terutama dan pokok ialah kebahagiaan anak jadi bilamana kedua muda-mudi sudah diketahui benar saling mencintai, maka pihak orangtua, terutama orangtua pihak gadis, tidak lagi akan terlalu ngotot soal besar kecilnya jumiah sinamot. Pada jaman dahulu memang cukup banyak terjadi kegagalan dan jalan buntu waktu “marhata sinamot” dan kedua muda-mudi yang bersangkutan terpaksa tunduk pada keputusan yang gagal itu. Syukur pada akhir-akhir ini keadaan sudah kearah yang baik, di mana yang menjadi masalah pokok adalah kebahagiaan dan masa depan dari dua sejoli, yang telah saling mencintai, suka sama suka, dengan tetap memenuhi dan menjalankan norma-norma formil dari adat istiadat itu. Sampai sekarang pun acara marhata sinamot pada umumnya masih berjalan seperti, kebiasaan lama yaitu yang datang dari pihak laki-laki ke rumah orangtua wanita, hanya keluarga terdekat saja, dan orangtua laki-laki hanya didampingi oleh beberapa keluarga dari Dongan Tubu dan Boru yang terdekat. Dari pihak Hula-hulanya tidak ada yang ikut. Dari pihak keluarga perempuan yang ikut menyambut dan ikut hadir adalah keluarga terdekat juga, terutama dari Suhi ni Ampang na Opat yang disebut parjambar nagok. Demikianlah parjambaran tersebut dinamakan parjambaran nagok dan yang harus dibicarakan di rumah waktu marhata Sinamot. Parjambaran nagok juga disebut ragiragi ni sinamot, ada pula yang menyebut goligoli ni Sinamot. Untuk jambar yang ke-4 dan ke-5 di atas (Todoan dan Simandokhon) tidak berlaku normal 10% seperti yang diberlakukan untuk Suhi ni ampang no opat, tetapi cukup dengan igil mangigil dengan didasari kemauan dan itikad baik.
Suhi Ni Ampang Na Opat;
Suhi ni ampang na opat pada dasarnya adalah Dalihan Natolu hanya ditambah dengan Suhut Bolon sebagai orangtua langsung dari calon mempelai wanita yang sebenarnya adalah juga termasuk dalam unsur Dalihan Natolu (Dongan Tubu) tetapi khusus dalam adat perkawinan dipisahkan dalam rangka penanggung jawab dan penerima Sinamot. Jadi Suhi ni ampang na opat hanya ada pada pesta perkawinan di dalam kedudukan sebagai penerima jambar nagok. Untuk pihak yang menyerahkan/memberi Sinamot (pihak keluarga calon pengantin lelaki) istilah itu tidak dipergunakan, maupun pada adat lainnya.
Asalnya istilah Suhi ni ampang na opat adalah sebagai berikut:
- Pada pagi hari pesta perkawinan, keluarga terdekat dari calon mempelai bersama calon mempelai itu sendiri, datang ke rumah calon mempelai wanita dalam rangka pelaksanaan perkawinan itu, sebab pesta dan adat perkawinan itu akan diadakan di rumah pengantin wanita yang disebut mangalap jual.
- Kedatangannya pagi itu sekaligus membawa “makanan adat” yang disebut sipanganan sibuhabuhai. Inilah dianggap sebagai pembukaan semua kegiatan pada pesta hari itu untuk seterusnya disambung dengan acara catatan sipil (setelah adanya U.U. Perkawinan). Makanan adat Sibuhabuhai tadi bawa oleh Boru dari keluarga lelaki yang diberi nama “Sijujung Ampang” di dalam satu bakul yang kuat yang disebut “ampang” dengan empat suhisuhi (empat sudut) ditutup dengan satu ulos biasanya ulos Sibolang atau dengan Ulos Ragi Hotang. Yang menerima/menyambut mereka di rumah pengantin wanita adalah unsur dari Suhi ni ampang na opat yaitu Suhut Bolon, Pamarai, Pariban dan Tulang semuanya kelompok parjambar na gok penanggung jawab penuh dari semua keadaan dan pelaksanaan perkawinan sebagai keluarga terdekat sekali dari mempelai perempuan yang kemudian dinamai Suhi ni ampang na opat bersama-sama dengan undangan lainnya.
TAHAPAN ULAON UNJUK
- MARSIBUHA BUHAI
- PROSESI MASUK PENGANTEN
- ACARA MAKAN BERSAMA DIAWALI PROSESI PENYERAHAN TANDA MAKANAN ADAT (TUDU-TUDU NI SIPANGANON).
- PARJAMBARAN
- MANAJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)
- PROSESI ACARA PERCAKAPAN ADAT
- MEMPERSIAPKAN PERCAKAPAN
- MARDALAN PINGGAN PANUKKUNAN (MULAK GABE PINGGAN PANGALUSI)
- PASAHAT SINAMOT
- PENYERAHAN PANANDAION SUHI NI AMPANG NA OPAT
- PENYERAHAN PANANDAION
- PASAHAT TINTIN MARANGKUP
- PASAHAT ULOS