Macam Jenis Ulos Batak

Ulos Batak

Dengan ucapan syukur dan terima kasih ke hadapan Tuhan Allah Sang Pencipta yang memberikan ilmu dan pengetahuan kepada manusia, agar manusia mampu mengembangkan semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan umat manusia (Kej 1:28 ; 4:20 – 21).

Selanjutnya kita generasi sekarang ini pada tempatnyalah memberi hormat setinggi-tingginya kepada Ibu-ibu, nenek moyang kita, yang mempunyai ketekunan, kesabaran yang luar biasa untuk bekerja keras secara sangat sederhana dan bersahaja untuk menciptakan berbagai ragam ulos yang kita kenal sekarang.

Bagi masyarakat Batak Toba, ulos memiliki nilai budaya yang tinggi dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat adat.

Bila kita memperhatikan Ulos Batak secara teliti maka akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi tidak kalah bila dibandingkan dengan karya daerah lain.

Berbagai Ragam Ulos Batak

  1. Ulos JUGIA – Ulos ini disebut juga “Ulos na so ra pipot” atau pinunsaan. Ulos ini biasa dipakai oleh Bapak-bapak. Pada waktu terakhir ini, banyak kita lihat bahwa ulos ini disampekan kepada orangtua pengantin laki-laki yang disebut sebagai Ulos Pansamot. Ulos Pansamot ini ada juga yang memberikan dari jenis ulos Sibolang maupun dari jenis ulos Ragihotang sesuai dengan kemampuan yang tersedia. Jenis Ulos Jugia ini menurut keyakinan Orang Batak tidak dapat dipakai sembarang orang, kecuali oleh orang yang sudah Saur Matua, yaitu semua anak laki-laki dan perempuan sudah kawin dari semua anaknya itu telah mempunyai cucu. Hanya orang yang demikianlah yang disebut “Na Gabe” yang berhak memakai ulos ini. Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau masih ada yang belum mendapat keturunan, walaupun telah mempunyai cucu-cucu dari anak laki-laki dan perempuan lainnya yang telah kawin, belum bisa digolongkan sama dengan tingkatan Saur Matua. Beratnya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos ini merupakan benda langka hingga banyak orang Batak yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering merupakan barang warisan orangtua kepada anaknya dan nilainya sama dengan sitompi (emas yang dipakai oleh isteri raja-raja pada waktu pesta).
  2. Ulos RAGIDUP – Ulos ini setingkat di bawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan Ulos Ragiduplah yang paling tinggi nilainya oleh sebab memang dilihat dari bentuk (motifnya), lebarnya cara penenunannya yang sangat rapi dan teratur, sangat nyata perbedaannya dari ulos-ulos yang lain. Dan memang cara penenunan ulos Ragidup ini sangat sulit, harus teliti sekali, dan hanya dipercayakan pada penenun yang telah cukup banyak mempunyai pengalaman dalam tenun-menenun. Ulos Ragidup sebenamya terdiri dari 5 (lima), bagian yang ditenun secara terpisah-pisah baru kemudian disatukan (diihot) dengan rapi hingga.jadi bentuk satu Ulos. Ada dua sisi Ulos ini sebelah kiri dan sebelah kanan disebut ambi. Bagian tengah ada 3 bagian, di pinggir atas dan pinggir bawah yang disebut “Kepala Ulos”, yang hampir mirip bentuknya, tetapi tidak sama benar, disebut namanya “Tinorpa”, dan bagian tengahnya merupakan “Badan Ulos”, yang disebut “Tor”. Penenunan kelima bagian tersebut dilakukan dengan sangat cermat sekali. Oleh sebab semua motifnya memberikan arti tersendiri. Oleh sebab itu pada waktu memesan Ulos Ragidup yang berkepentingan perlu menjelaskan maksud penggunaan ulos tersebut atau bilamana hendak membeli yang sudah ada, maka motif-motif ulos tersebut diperiksa secara teliti. Dahulu kala untuk mempersiapkan penenunan Ulos Ragidup ini sering dilakukan cara gotong-royong oleh 5 orang, masing-masing satu bagian seperti dijelaskan di atas dengan tetap mengindahkan keahlian dan keterampilan 5 orang penenun tersebut. Ulos Ragidup dapat dipakai untuk berbagai keperluan, baik untuk acara dukacita maupun pada acara sukacita, juga dapat dipakai oieh Raja-raja Adat, orang berada, maupun oleh Rakyat biasa, selama memenuhi beberapa pedoman, misalnya diberikan sebagai Ulos Pargomgom, ada juga diberikan sebagai Ulos Pansamot pada acara pesta perkawinan, atau diberikan sebagai Ulos Panggabei pada waktu orangtua meninggal dunia yang telah mencapai satu tingkat hagabeon tertentu, hal-hal mana akan diterangkan lebih jauh nanti. Dalam satu pesta perkawinan ada juga Suhut Sihabolonan yang menyandang Ulos Ragidup, dengan demikian para tamu dapat terus mengenal dan membedakannya dari hasuhuton lainnya yang juga memakai Ulos, tetapi bukan lagi Ulos Ragidup tetapi misalnya Ulos Sibolang, Ragi Hotang dan lain-lain. Seperti kita ketahui dalam setiap upacara adat misalnya pada pesta perkawinan maka landasannya adalah Dalihan Natolu. Maka dalam acara adat tersebut yang menjadi hasuhuton adalah Suhut Sihabolonan bersama-sama Dongan Tubunya sebab dalam kekeluargaan Suku Batak, kelompok satu marga (Dongan Tubu) adalah “Sisada raga, somba”, terhadap kelompok marga lain. Namun demikian ada pepatah Batak yang mengatakan: “Martanda do Suhut, Marbona sangkalan. Marnata do suhut, Marnampuna Ugasan”. Yang dapat diartikan, walaupun pesta itu adalah untuk kepentingan dan atas nama bersama, dimana semua Dongan Tubu berhak tampil dan bersuara dan juga ikut sebagai pengundang, malahan yang menonjol dalam pengurusan dan sebagai Raja Parhata (Parsinabul) adalah dari Dongan Tubu, akan tetapi kedudukannya dari Suhut Sihabolonan tetap dihargai dan dalam hal-hal tertentu tetap mempunyai hak untuk memberi kata akhir. Oleh sebab itu dengan memakai Ulos Ragidup dapat dengan jelas diketahui oleh para hadirin yang menjadi Suhut Sihabolonan.
  3. Ulos RAGI HOTANG – Dahulu pada jaman Nenek Moyang kita pernah pula Ulos ini diberikan kepada sepasang penganten yang disebut sebagai Ulos Hela. Dengan pemberian Ulos ini dimaksudkan agar ikatan lahir dan batin kedua penganten dapat teguh seperti ikatan rotan (hotang). Tetapi belakangan ini telah banyak, kita lihat bahwa Ulos ini dipergunakan adalah sebagai Ulos Holong. Sehingga ramai-ramailah kerabat keluarga yang menyampaikannya kepada kedua pengantin pada acara pesta perkawinan tersebut. Pada acara-acara pesta yang lain pun Ulos ini telah banyak dipergunakan umpama, pesta baptisan anak-anak, pesta anak sidi (manghatindangkon haporseaon) disampaikan kepada Boru, Bere, Ibebere dan cucu sebagai tanda turut merasa gembira dan mengucapkan doa syukuran terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Untuk upacara penyambutan tamu-tamu untuk ini muda-muda kita dapat dipersiapkan lengkap memakai Handehande dan Hobahoba dari jenis Ulos Ragi Hotang, sangatlah menarik dan semarak nampaknya. Juga Ulos ini dapat diberikan pada acara mangupaupa dan pesta lain pada acara gembira yaitu pesta-pesta gembira-ria.
  4. Ulos SADUM – Ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai dan dipergunakan untuk suasana sukacita dan banyak orang yang ingin memiliki. Pada akhir-akhir ini kita perhatikan sesuai dengan permintaan penganten pada acara pesta perkawinannya sudah banyak orangtua memberikan Ulos Sadum ini sebagai Ulos Hela. Cara pemberiannya kepada kedua penganten ialah disampirkannya dari sebelah kanan pengantin laki-laki setinggi bahu terus sampai ke sebelah kiri pengantin perempuan. Ujung sebelah kanan dipegang oleh tangan kanan pengantin laki-laki dan ujung sebelah kiri dipegang dengan tangan kiri oleh pengantin perempuan lalu disatukan dimuka penganten itu seperti terikat. Dan seterusnya oleh Ibu Penganten perempuan tersebut disampirkanlah 1 (satu) helai kain sarung (mandar) ke atas pundak penganten lelaki Helanya itu. Begitu indahnya Ulos Sadum itu sehingga sering dipakai Ulos kenang-kenangan diberi kepada pejabat-pejabat yang berkunjung ke Daerah. Baik tamu dalam negeri mapun tamu dari manca Negara. Mereka sangat bangga menerima Ulos yang disematkan di bahunya karena benar-benar merasakan bahwa pemberian ulos tersebut merupakan suatu penghormatan baginya.
  5. Ulos RUNJAT – Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang bepergian pada menghadiri pesta-pesta atau sebagai undangan. Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut tohonan Dalihan Natolu diluar hasuhuton Bolon, misalnya Tulang, Pariban, dan Pamarai. Juga Ulos ini dapat diberikan pada waktu acara mangupaupa dan pesta-pesta lain. Kelima jenis ulos yang disebut di atas adalah merupakan Ulos simpanan, yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena Ulos ini jarang dipakai, hingga tidak perlu dicuci biasanya cukup dijemur pada siang hari.
  6. Ulos SIBOLANG – Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan pada acara untuk keperluan dukacita dan sukacita. Untuk keperluan dukacita biasanya dipilih dari jenis yang warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam peristiwa sukacita dipilih dari jenis yang warna putihnya menonjol. Dalam peristiwa dukacita Ulos ini paling banyak dipergunakan orang misalnya untuk Ulos Saurmatua, Ulos sampesampe, harus dipakai dari Ulos ini, tidak boleh dari jenis Ulos yang lain. Dalam upacara perkawinan ulos ini biasa dipakai sebagai tutup ni ampang dan bisa disandang sebagai Handehande, tetapi harus dipilih dari jenis yang warna putihnya agak menonjol. Inilah yang disebut sibolang “Pamontari”. Karena Ulos ini dapat dipakai untuk beberapa keperluan adat maka ulos ini terlihat paling banyak dipakai dalam upacara adat, hingga dapat dikatakan “memasyarakat”. Harganya juga relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Hanya saja ulos ini tidak biasa dipakai sebagai ulos pangupa atau ulos parompa.
  7. Ulos SURISURI GANJANG – Ulos ini dinamai Ulos surisuri Ganjang karena raginya berbentuk sisir memanjang. Ulos ini dapat diberikan sebagai ulos Hela kepada pengantin baru. Dahulu Ulos ini sebagai sampesampe/handehande. Pada waktu acara menari dalam hal memukul gendang, ulos ini dipergunakan oleh pihak Hula-hula untuk manggabei (mangolopi) pihak borunya. Karena itu Ulos ini sering juga disebut Ulos sabesabe. Ada istimewanya ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi Ulos biasa, hingga bisa dipakai sebagai sampesampe, bila dipakai dua lilit pada bahu kiri dan kanan, sehingga kelihatan si pemakai layaknya memakai 2 buah ulos. Ada pula ulos ini dipakai sebagai ulos parompa sebagai simbol agar mencapai kesehatan dan mencapai umur yang panjang hendaknya.
  8. Ulos MANGIRING – Ulos ini mempunyai ragi yang saling iring mengiringi, melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Sering diberikan oleh seorang tua, sebagai ulos parompa kepada cucunya agar seiring dengan pemberian ulos ini kelak agar lahir adik-adiknya beriringan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai temannya seiring dan sejalan. Sebagai pakaian sehari-hari ulos ini dapat dipakai sebagai tali-tali (detar) untuk laki-laki dan untuk wanita disebut saong atau tudung. Pada waktu upacara mampe goar ulos ini dapat pula dipakai sebagai bulang-bulang diberikan oleh pihak hula hula kepada menantunya.
  9. Ulos BINTANG MARATUR – Ragi ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang ini menggambarkan orang yang patuh rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal sinadongan (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang baik dalam hak hagabeon (banyak keturunan) anak laki-laki dan perempuan. Semuanya berada dalam tingkatan rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari bahwa Hula-hula yang berkompeten menyampaikan “Ulos Mula Gabe” kepada borunya yang akan melahirkan anaknya yang pertama. Tujuan pemberian ulos ini adalah menunjukkan rasa kasih sayang orangtua kepada borunya, dalam rangka membangkitkan semangat hidup dan rasa percaya diri kepada borunya dalam persalinannya yang akan datang. Untuk acara adat yang berkaitan dengan hal di atas biasa disampaikan oleh Hula-hula ulos yang diberi nama “Ulos Mula Gabe” ini dari jenis Ulos Bintang Maratur. Disertai doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatNya dikaruniakan hendaknya kelahiran anak laki-laki dan perempuan secara teratur kepada borunya. Selanjutnya pada acara adat mampe goar untuk anak yang sulung itu harus diberi dari ulos jenis Bintang Maratur.
  10. Ulos SITOLUNTUHO – Ulos ini dapat dipakai sebagai Ulos Parompa yang diberikan kepada seorang cucu yang baru lahir. Ada pula yang memakai ulos ini sebagai ikat kepala yang disebut namanya tali tali dan oleh wanita ada pula yang memakainya untuk selendang atau hande-hande. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan yang dalam istilah adat Batak dikatakan sebagai Ulos Panoropi yang diberikan oleh pihak Hula-hula kepada pihak boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut, sitoluntuho karena raginya berjejer tiga merupakan tuho atau tugal yang biasa dipakai untuk melobang tanah untuk ditanami.
  11. Ulos JUNG KIT – Ulos jenis ini juga disebut ulos na nidongdang atau ulos purada. Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut sehingga cantik kelihatannya. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dari keluarga raja-raja merupakan hoba hoba yang dipakai hingga batas dada. Juga dipakai pada waktu menerima pembesar atau pejabat-pejabat atau waktu pesta yang beragam-ragam. Pada masa-masa terakhir ini permata yang disebut di atas telah jarang diperdagangkan, maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” benang ulos tersebut. Maka disebut nama ulos ini ulos jungkit.
  12. Ulos LOBU-LOBU – Masih ada lagi jenis Ulos Batak yang lain, tetapi yang sudah jarang sekali kelihatan dan jarang dipakai dalam acara-acara adat biasa, misalnya Ulos Lobu Lobu yang mempunyai keperluan khusus untuk orang yang sering dirundung kemalangan. Oleh sebab itulah ulos ini jarang sekali sehingga banyak orang tidak mengenalnya lagi. Ada keistimewaan ulos ini, yaitu sesudah selesai ditenun, rambu dari ulos ini tidak dipotong, dibiarkan saja demikian sebagaimana adanya. Tujuannya supaya baik dipakai sebagai kain sarung, dan bila dipakai sebagai ulos parompa agar anak yang digendong tak mudah jatuh dari gendongan tersebut. Dinamai ulos lobu lobu (lobu = masuk) agar hal yang terbaik masuk ke dalam rumah pemakainya.

Makna Penggunaan Ulos

Sebagaimana kita ketahui, bagi masyarakat Batak Toba, sejak dahulu kala sebelum ada tekstil buatan pabrik, seperti sekarang ini, ulos yang ditenun sendiri adalah merupakan pakaian utama sehari-hari. Baik bagi kaum pria dan wanita, ulos inilah yang dipakai sebagai selimut untuk menghangatkan tubuh bagi orangtua, maupun oleh anak-anak yang masih kecil merupakan penjaga dan penghangat tubuh untuk kesehatan, melindungi terhadap kencangnya angin, dinginnya udara karena hujan dan lain-lain.

Jadi sejak dari kecil anak-anak sudah dapat merasakan kasih sayang orangtuanya yang selalu mangulosi anaknya apabila cuaca sudah terasa dingin. Lama kelamaan penggunaan ulos itupun semakin meluas dan berkembang. Sudah merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari setiap upacara Adat Batak Toba, sebab tanpa ulos upacara itu terasa kurang sempurna. Jadi maknanya dan falsafah pemberian ulos oleh pihak Hula-hula kepada pihak Borunya dalam rangka anaknya perempuan melangsungkan pesta perkawinannya dengan pria pilihannya, orangtua atau pihak Hula-hula itu merasa wajib mengulosi Boru dan Helanya sebagai simbol menunjukkan kasih sayang Orangtua bagi mereka berdua. Pertanda bahwa Hula-hula selalu mengayomi borunya dalam doa restu semoga Tuhan Allah memberikan perlindungan demi keselamatan dan kesehatan anaknya tersebut. Dengan memberikan Ulos sebagai satu pertanda yang dapat dilihat disertai pepatah-petitih dimana Hula-hula memanjatkan doa ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, semoga memberikan Rahmat dan Ridhonya kepada Boru dan Hela yang menerima Ulos itu mengaruniakan kebahagiaan dan keselamatan, kesehatan dun umur yang panjang serta rejeki yang murah, serta dilindungi terhadap mara bahaya dan seterusnya hal yang sangat penting dan pokok agar diberi hagabeon, hamoraon dan hasangapon, yaitu dengan lahirnya anak laki-laki dan anak perempuan.

Pada bahagian lain ada juga pemberian Ulos sebagai cenderamata kepada tamu-tamu penting yang datang dalam rangka kunjungan tertentu di daerah Batak Toba, baik tamu dari dalam negeri maupun tamu dari mancanegara. Mereka sangat baugga menerima Ulos yang disematkan di bahunya karena benar-benar marasakan bahwa suatu penghormatan baginya. Biasa juga kita lihat bila ada temu pisah pada suatu kantor pejabat-pejabat dengan sesuatu alasan karena perpindahan tempat bertugas maupun dengan alasan karena menjalani hak pension diberikan juga Ulos yang cantik-cantik sebagai kenang-kenangan sambil mengucapkan banyak terima kasih atas jasa jasanya selama pangabdiannya.

Demikianlah falsafah pemberian Ulos itu dan untuk setiap macam acara adat dan keperluan ada pedoman-pedoman tertentu tentang macam dan tingkat Ulos yang diberikan.

Ulos Herbang

Selanjutnya akan dijelaskan tatacara urutan dan jenis-jenis ulos herbang yang biasanya diberikan oleh Pihak Parboru kepada Pihak Paranak. Jumlah ulos herbang yang biasa diberikan pada waktu acara Adat perkawinan adalah 8 buah, dalam hal khusus paling banyak 11 buah yaitu:

  • Ulos Pansamot – Makna dari Ulos Pansamot adalah bahwa Bapak pengantin lelakilah yang merupakan pencari nafkah keluarga dan bertanggung jawab untuk sinamot anaknya. Pada kesempatan ini juga diberi ungkapan-ungkapan dari pepatah-petitih seperlunya.

Hamu Lae/Ito, hupasahat hami ma nuaeng tu hamu Ulos Pansamot. Nunga sahat hujalo hami Sinamot na godang sian hamu. Nunga dipatulus Tuhanta sangkap ni Rohanta di parsaripeon ni ianakhonta. Sai dilehon Tuhan i ma di hamu hahipason di pasu-pasu angka ulaon muna jala dilehon tangkas tiur ni pansarian dohot pansamotan di hamu.

Contoh Hata Pasahat Ulos Pansamot

Andor halukka ma togu-togu ni lombu, andor hatiti togu-togu ni horbo; Nangnang ma hamu Saurmatua, patogu-togu pahompu sahat tu na marnini sahat tu namarnono.

Eme sitamba-tua ma parlinggoman ni siborok; Tuhanta Debata do silehon tua, saluhut na ma hita on diparorot

Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean; Pasahaton nami ma ulos Pansamoton, sahat ma hamu tu parhorasan, sahat tu panggaben.

  • Bilamana kedua orangtua pengantin lelaki tidak dapat hadir pada upacara perkawinan, maka ulos pansamot/ pargomgom diserahkan dalam keadaan terlipat kepada yang mewakili, pada waktu mana Suhut Bolon Parboru menyampaikan harapan agar ulos pansamot tersebut disampaikan kepada Suhut Bolon Paranak disamping pepatah-petitih seperlunya. Bilamana terjadi hal demikian yakni Suhut Bolon Paranak tidak dapat langsung hadir, oleh sebab mana ulos Pansamot akan disampaikan secara terlipat, maka biasanya akan ada seorang yang mewakilinya sebagai Ama, sebagai Suhut Bolon pada acara perkawinan tersebut. Dalam keadaan begini lebih baik diuloshon lebih dahulu Ulos Pangamai, baru diserahkan Ulos Pansamot tadi dalam keadaan terlipat.
  • Perlu mendapat perhatian motivasi dari itu yakni adalah dipantangkan untuk memberikan ulos pertama terlipat seharusnya dikembangkan dan ulos pansamot adalah ulos yang pertama sekali harus diberikan herbang pada waktu acara adat perkawinan.

Ungkapan yang disampaikan waktu demikian adalah misalnya:
Hamu Laenami/Itonami.

Pangamai di Helanami on.

Dison hami naeng pasahathon Ulos Pangamai tu hamu. Alai andorang so hupasahat ulos on, na patut pabotohonon nami, ia mangihuthon adat na sinungkun ni Ompunta Sijolojolo Tubu na. ingkon do jumolo pasahatonnami Ulos Pansamot tu Lae/lbotonami i, tudutudu naung tangkas nasida mulai sadari on manggomgom borunami naung gabe parumaen nasida.

Siala ndang tar herbangkon hami Ulos Pansamot on tu nasida parjolo sahali, sai mantat tu na uli ma, jala umpinta pasupasu parhorasan panggabean ruhut ni adat na pinungka ni Ompu Sijolojolo Tubu na ulos parjolo sipasahaton naeng ma ingkon ulos na herbang, asa herbang angka parhorasan dohot panggabean sian mulai ari on ditumpak asi ni roha ni Tuhanta i, di hamu parboruon nang di hami Hula-hulamu. Asa hamu Lae/Ito hupasahat hami ma tu hamu Ulos Herbang Ulos Pangamai. Siala tangkas do hamu huida hami na Pangamai na tutu do hamu di Helanami on, boi tangkas denggan sude ulaonta. Andor hadungka ma togutogu ni lombu. Sai Saurmatua ma hamu sahat rodi na pairingiring pahompu. Kemudian diuloshon ma ulos Pangamai tersebut kepada kedua suami-isteri Pangamai. Segera setelah itu disampaikan ulos Pargomgom secara terlipat kepada Pangamai tadi dengan pesan agar segera disampaikan kepada yang berkepentingan.

Bilamana kedua orangtua pengantin lelaki sudah meninggal, maka ulos pargomgom tetap diberikan oleh Suhut Parboru dan yang menerimanya haruslah keluarga terdekat, dari bapak pengantin lelaki, misalnya abang/ adik kandung dari bapaknya. Disamping itu masih tetap dimungkinkan memberikan ulos Pangamai kepada keluarga yang menangani serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan pesta adat perkawinan itu.

  • Ulos Hela – Orangtua pihak Parboru biasanya memilih ulos yang sangat cantik yang akan disampaikan kepada Borunya Pengantin lelaki dan pengantin perempuan. Pada masa ini biasa kita lihat bahwa Ulos Hela ini dipilih dari jenis Ulos Sadum. Karena ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria dan cantik dipandang mata, cocok dipakai untuk suasana sukacita.
  • Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin lelaki setinggi bahu terus sampai ke sebelah kiri pengantin perempuan. Ujung sebelah kanan dipegang dengan tangan kanan oleh pengantin lelaki dan ujung sebelah kiri dipegang dengan tangan kiri oleh pengantin perempuan. Dengan memohon Doa Restu kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga pengantin ini menjadi keluarga sejahtera dan bahagia. Pada kesempatan ini juga Ibu Pengantin Perempuan menyampirkan satu helai kain sarung (mandar) ke atas pundak Pengantin lelaki Helanya itu.
  • Dibawah ini dicantumkan beberapa pepatah-petitih Bahasa Batak Toba yang diucapkan pada waktu penyerahan menyematkan Ulos Hela kepada Pengantin lelaki dan pengantin perempuan:

Dakka ni Arirang na tubu dirobean; Badan muna na so jadi sirang, Tondimuna hot masigonggoman.

Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni purbatua,sai tubuan anak ma hamu tubuan boru, donganmuna sarimatua.

Eme sitambatua parlinggoman ni siborok. Amanta Debata do silehon tua, sai horas ma hamu diparorot.

Sahat solu sahat tu Tigaras. Leleng hamu mangolu, gabe jala horas.

  • Ulos Amangtuana (Pamarai) – Jenis ulos yang akan diserahkan terserahlah kepada pilihan Hula-hula ulos mana yang akan dipilih dan disiapkannya untuk ulos adat ini. Biasanya telah banyak dipergunakan dari jenis ulos Ragi Hotang yang cantik atau Ulos Sibolang Pamontari yang disampirkan ke atas bahu si penerima ulos tersebut. Diiringi umpasa Batak: Rugun dohot bulungna, torop muse pinompar ni hahana. Torop muse pinompar ni boruna. Sai pir ma tondi, martambatamba ma pandapotan.
  • Ulos amangudana (Simanggokhon) – Jenis ulos serupa dengan yang disebut diatas (ke amangtua/pamarai)) disertai dengan umpasa Batak Toba.
  • Ulos Sihuti ampang (Boru/Paranak) – Jenis ulos yang diberikan kepada Ibotonya ini diserahkanlah kepada pihak Hula hula untuk memilih yang lebih bagus dari ulos-ulos yang telah disebut di atas, boleh dari Ragi Hotang atau jenis lain yang disampaikan disertai umpasa Bahasa Batak Toba
  • Ulos Simolohon – Molo angka na marhaha maranggi sahata saoloan. Masipaolo-oloan. Tu domuna hamu sahundulan, tu na marhula marboru dohot tu na marhaha maranggi. Biasanya Hula-hula Parboru memilih ulos yang lebih cantik agar Berenya tersebut merasa bersukacita. Banyak jenis ulos yang dapat dipilih umpamanya ulos sejenis Sadum, ulos mangiring atau Bintang Maratur dan terserahlah kepada Pihak Hula-hula. Disertai umpasa Batak Toba
  • Ulos Todoan (Namboruna) – Jenis ulos yang dipakai boleh dipilih dari ulos dari jenis ulos Sibolang, karena tentu Namboru ini sudah lanjut usia, sudah masuk kategori Saurmatua disertai dengan umpasa Batak Toba:

Pir ma pongki, bahul-bahul pansalongan; Sai pir ma tondi muna, jala tongtong hamu masihaholongan.

Andor halumpang Togu-togu ni lombu, andor hatiti Togu-togu ni horbo; Penggeng saur matua ma hamu pairing-iring anak dohot boru. Sahat tu namarnini sahat tu namarnono.

Asa, sahat-sahat ni solu ma, sahat tu bontean; Sai sahat ma hita on leleng mangolu, sahat ma tu parhorasan, sahat tu panggabean.

  • Ulos Todoan (Namarhaha-maranggi) – Boleh dipakai ulos Sibolang disebut pada no. 7 diatas. Ulos Herbang yang berikut dan seterusnya, siapa yang berhak menerimanya akan ditentukan nanti pada pesta perkawinan. Maka diharapkan sangat kesediaan pihak Hula-hula untuk memilih ulos yang terbaik demi memberi semangat kepada penerimanya sebagai kenang-kenangan selama hidupnya.
  • Ulos Holong – Setelah selesai penyerahan Ulos Herbang dari pihak Hula-hula kepada semua pihak Paranak. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam waktu Marhata Sinamot, maka Raja Parhata Paranak mengumumkan dan mengundang semua pihak Raja ni Tutur yang bersedia akan menyerahkan Ulos Holong kepada kedua mempelai, supaya datanglah untuk menyerahkan Ulos Holong tersebut. Maka berbarislah menurut rombongan masing-masing dengan kerabat keluarga terdekat dan Raja Parhata ni Parboru sangatlah aktif mengumumkan nama rombongan yang mamgulosi tersebut. Demikian juga petugas dari pihak Parboru dan pihak Paranak sangat sibuk sekali menyampaikan empelop yang telah diisi oleh Suhut Bolon kedua belah pihak kepada masing-masing pemberi Ulos Holong tersebut sebagai symbol ucapan terima kasih.

Tubu ma hariara, di tonga-tonga ni huta; Sai tubu ma di hamu anak namarsahala dohot boru namora jala na martua.

Tangkas ma jabu suhat tumangkasan ma jabu bona.Tangkas ma hamu maduma tangkasan ma nang mamora.

Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean; Pasahaton nami ma ulos si ganjang rambu on Sahat ma hamu tu parhorasan, sahat tu panggaben.

Umpasa lainnya

Ruma ijuk tu ruma gorga; Sai tubu ma anakmuna na bisuk dohot borumuna na lambok marroha.

Dakka ni Arirang na tubu dirobean. Badan muna na so jadi sirang, Tondimuna hot masigomgoman.

Pinantik Hujur, tutopini tapian; Tudia hamu mangalangka, sai dapotan parsaulian

Sahat solu sahat tu Tigaras. Hupasahat hami Uloson, parhitean ni Tangiang nami Sahat ma gabe, jala sahat horas.

  • Ulos Tulang Ni Hela – Setelah semua Raja ni Tutur selesai menyerahkan ulosnya masing-masing tibalah saatnya diberi kesempatan kepada Tulang ni Hela Sijalo Tintin marangkup untuk menyampaikan ulosnya seraya mengucapkan umpasa Bahasa Batak Toba: “Ale Bere dohot Borunami”, tadok ma mauliate tu Amanta Debata ai nunga dapot di hamu sadari on, songon hata ni umpasa:

Umpasa penyerahan menyematkan Ulos Tulang ni Hela: On pe Bere, ingot ma tu joloan on, borungku do na nialapmon. Jala tu ho pe inang, borungku dohononku ma. Ingot ma tu joloan on, apala amangmu do ahu na dohot manghaholongi ho. Nuaeng pasahatonku ma pasupasu tu hamu;

Tangki hau tualang, galinggang ginalege; Tubuan anak ma hamu, partahi jala ulubalang, Tubuan boru par-mas jala pareme.

Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni purbatua; Sai tubuan anak ma hamu tubuan boru, donganmuna sarimatua.

Tubuma halosi di dolok ni pintu batu; Hami Tulangmu mangulosi, Debata do ianggo na masu-masu.

Sahat saha ni solu, sahat tu bontean ni tigaras; Pasahathon nami ma ulos si ganjang rabu on, saluhutna ma hita gabe jala horas.

Umpasa penyerahan menyematkan Ulos Tulang ni Hela

Dengan selesainya semua penyampaian Ulos Herbang dari semua Raja ni Tutur, sebagaimana yang telah kita persaksikan sendiri dapat kita lihat semaraknya keadaan dengan cukup rasa gembira dan sukaria. Segala jenis dan corak ragam ulos yang warna-warni yang diberikan oleh keluarga dan Hula hula pada acara pesta perkawinan itu yang menghidupkan semangat kedua belah pihak Suhut Bolon pada rasa cinta kasih dalam lingkungan kekeluargaan yang disertai Doa Restu ke hadapan Tuhan Yang Pengasih. Semoga keluarga dikaruniai kesehatan dan bahagia serta mudah rejeki.

  • Ulos Tinonun Sadari – Selanjutnya Pihak Paranak masih meminta lagi acara adat yang biasa berlaku yaitu menyampaikan ulos tinonun sadari. Hal ini sangat penting dimintakan oleh pihak Suhut Bolon Paranak demi menghormati undangannya yang dapat hadir pada acara pesta tersebut yaitu dari Hasuhuton, pihak Hula-hulanya, pihak Boru dan Raja. Raja yang diundang Dongan Tubu, Dongan Sahuta dan Aleale Teman Sejawat. Di beberapa daerah untuk menghemat waktu ada pula yang mempersingkat caranya dengan meminta adat yang disebut Rambu Pinungu, yang kemudian dapat dibagi bersama dan diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku.
  • Adat Parsuhian – Seterusnya untuk melengkapi acara adat yang telah pernah dibicarakan dalam waktu marhata Sinamot, biasanya dibicarakannya juga soal Parsuhian, yakni kewajiban yang harus dibayar oleh Parboru kepada Serikat STM atau Kumpulan Marga atau arisan yang diikutinya. Beban ini menjadi tanggungan pihak Paranak.
  • Olop Olop – Kedua belah pihak Suhut Bolon Paranak dan Suhut Parboru mempersiapkan uang adat acara oloplop yang ditaruh di atas piring disampaikan kepada Natuatua ni huta. Berdirilah sambil memegang piring tadi, langsung mengucapkan kata-kata ucapan terima kasih kepada hadirin:

Dihita na pungu on, tarlumobi di hasuhuton Paranak dohot Parboru. Tama mandok mauliate ma hita tu Tuhanta na Mamasumasu ulaonta di bagasan dame dohot holong na Masihaholongan jala dibagasan ni- masipaolooloan.

Balintang ma pagabe Tumundalhon sitadoan Sai saut ma hamu horas Jala gabe, ai nunga masipaolooloan.

Binanga ni Sihombing Binongkuk di tarabunga Tu sanggar ma amporik Tu lombang ma satua Sai sinur ma na pinahan Gabe angka na ni ula.

Horas-horas antong Hula-hulana Horas-horas ma dohot boruna Horas-horas nang dongan Sahuta.

Tu anak dohot boru na manjalo pasupasu parbagason, dohonon ma:

Bintang na rumiris tu ombun na sumorop Anak pe antong riris
Boru pe antong torop Sahat ma saurmatua, jala Debata ma na marorot.
Tu hita saluhut dohonon ma:

Horas ma hita saluhutna. Torop ma boru dohot anak.

Sahat solu sahat tu bantean. Nunga denggan marujung ulaonta. Sahat ma hita saluhut tu parhorasan Sahat tu panggabean. Rap mandok ma tolu hali olopolop. “Olopolop, olopolop, olopolop”.

Umpasa tu Pengantin

Maka ditutuplah dengan nyanyian dan doa.

Baru dibagi-bagilah uang olopolop tersebut. Sebagaimana biasa berlaku di daerah itu. Biasanya untuk menghemat waktu selesai acara di atas langsung diadakan:

Dimana bahan-bahan Adat untuk keperluan ini telah lebih dahulu disiapkan oleh Suhut Bolon kedua belah pihak.
Selesai pelaksanaan acara Adat ini maka kedua belah pihak pun salam-salaman setelah ditutup dengan Doa dan Nyanyian Rohani.

  • Ulos Mula Gabe – Diberi nama dengan Ulos Mula Gabe adalah sebutan yang diberikan untuk sebuah Ulos yang akan diuloskan oleh Hula-hula kepada borunya. Disebut Ulos Mula Gabe karena kenyataannya, keluarga yang bersangkutan memang sedang menantikan hagabeon yaitu kelahiran anaknya yang pertama. Jadi seorang Ibu menerima ulos Mula Gabe ini satu kali dalam hidupnya. Pada zaman dahulu nama ulos ini biasa kita dengar dengan sebutan Ulos Tondi, pada waktu nenek moyang kita belum mengenal Agama Kristen, karena keyakinan mereka bahwa ulos tondi itu adalah mangulosi tondi seseorang agar sehat dan mendapat keselamatan badan dan jasmani. Tetapi setelah kita sebagai orang Kristen yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat kita, istilah ulos tondi sesuai dengan kepercayaan nenek moyang kita, sangat perlu kita tinjau kembali dan harus kita tinggalkan. Yesus Kristuslah yang memberi kesehatan dan keselamatan kepada kita. Adapun pemberian dan penyerahan ulos mula gabe ini adalah bagian dari pelaksanaan adat/budaya Batak yang kita yakini tidak bertentangan dengan iman percaya kita sebagai orang Kristen dan dengan kehendak Allah. Boru dan Hela menerima ulos ini dengan iman bahwa ulos yang mereka terima itu adalah suatu pemberian kasih dari orangtua mereka menurut adat budaya Batak. Orang Kristen Batak Toba sekarang ini, telah menyadari sepenuhnya bahwa ulos itu, sendiri sama sekali tidak memiliki daya atau kuasa apapun untuk membuat ibu hamil tadi sukses dalam persalinannya. Kelancaran persalinan seseorang adalah mutlak anugerah Tuhan Allah di dalam anak-Nya Yesus Kristus sehingga persalinan si Ibu hamil bisa lancar. Bilamana seorang wanita untuk pertama sekali mulai hamil, maka kira-kira pada bulan ke 7 kehamilan itu disebutlah dalam keadaan tumagam haroan atau manggora pamuro atau denggan pamatang. Kata-kata tersebut adalah istilah halus dan terhormat untuk menyebut keadaan seorang Ibu sudah dalam hamil. Setelah sudah dalam keadaan demikian. Orangtua si suami (mertua dari calon Ibu) akan memberitahukannya kepada Hula hulanya, orangtua si calon Ibu. Cara pemberitahuan hal itu cukup halus dan hormat dengan mempergunakan istilah tersebut di atas. Dalam masyarakat Batak kedudukan Hula-hula lebih tinggi harkat kekerabatannya di bidang adat, karena Hula-hula adalah orangtua dari isteri yang berarti orangtua kita juga, yang harus dihormati. Itulah alasannya Hula-hula yang berkompeten pasahathon “ulos Mula Gabe” kepada borunya, yang akan melahirkan anaknya yang pertama. Tujuan pemberian ulos itu adalah semata-mata menunjukkan rasa kasih sayang orangtua kepada Borunya, dan sekaligus ingin membangkitkan semangat hidup dan kepercayaan diri borunya tersebut dalam menghadapi persalinannya yang akan datang.
  • Manfaat yang diperoleh dengan pasahathon ulos mula gabe itu – Baik ibu-ibu zaman dahulu maupun ibu-ibu zaman sekarang yang akan melahirkan anak pertama pada urnumnya mereka masih kuatir dan kurang percaya diri menghadapi persalinannya yang akan datang. Kekuatiran mereka itu dapat dimengerti dan masih merupakan hal yang wajar, karena baru kali inilah mereka akan melahirkan anak pertama kali. Dapat saja terjadi, bahwa seorang ibu yang hamil untuk anak pertama, yang tinggal di rumah mertuanya, ingin memakan sesuatu makanan kesukaannya atau ingin memiliki sesuatu barang tertentu, tetapi hanya dapat dipenuhi oleh orangtuanya sendiri. Jika keinginannya tersebut tidak kesampaian, itulah yang disebut “Tarhirim” atau “Hiranan” yang dapat menganggu kelancaran persalinannya kelak. Mungkin akibat tempat tinggal yang berjauhan, si ibu yang sudah hamil tua untuk anaknya yang pertama, diliputi kerinduan yang sangat dalam karena selama sekian bulan setelah kawin, belum pernah ketemu dengan kedua orang tuanya dan saudara-saudara yang lain. Jadi kedatangan Hula-hula dan rombongan menjenguk boru dan helanya, yang sekaligus pasahat Ulos mula gabe merupakan jalan keluar dari hal-hal di atas yaitu: Disamping bawaan resmi menurut adat budaya Batak sudah pasti Hula-hula juga membawa makanan kesukaan borunya selama ini dan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Dengan demikian sukacita anak itu makin bertambah sehingga semangat hidupnya kembali seperti semula. Setelah borunya yang sudah hamil tua tersebut bertemu dengan orangtuanya sendiri, bapatua/nangtua, amanguda/inanguda, tulang/nan-tulang, namboru, kakak/adiknya timbul sukacita yang luar biasa dalam hidupnya. Rasa kuatir dan kurang percaya diri yang menghantui pikirannya selama ini hilang sama sekali. Didorong oleh rasa kerinduan kedatangan Hula-hula, beserta rombongannya, disambut oleh orangtua dan kerabat pria, sebagaimana layaknya menyambut Hula-hula menurut adat istiadat/ budaya Batak. Hula hula dan rombongan yang datang pun yang menjenguk boru dan helanya dalam acara khusus seperti ini tidak terlepas dari adat dan budaya Batak, sudah pasti mempersiapkan bahan-bahan adatnya yang akan disampaikan kepada boru dan helanya. Orangtua/ kerabat suami, telah mempersiapkan acara pasahat ulos mula gabe ini dengan persiapan-persiapan seperlunya dan seterusnya mengundang kerabat keluarga terdekat untuk hadir pada acara ini. Karena acara ini akan dilaksanakan dalam nuansa ke-Kristenan dalam bentuk pengucapan syukur, karena orangtua itu sadar bahwa Tuhan Allah telah berkenaan memberkati kandungan menantunya. Sudah tentu diundang seorang Hamba Tuhan (Pendeta atau Sintua) yang menyirami acara ini lebih dahulu dengan Firman Tuhan. Setelah selesai acara kebaktian pengucapan syukur, tibalah saatnya kepada acara pokok, yaitu menyampaikan “Ulos Mula Gabe”, oleh Hula-hula kepada Boru dan Helanya. Disampirkan ulos itu ke atas bahu boru dan helanya, juga dengan meletakkan beras sipir ni tondi ke atas kepala boru dan helanya itu. Orangtua yang menyerahkan “Ulos Mula Gabe” ini tentu disertai Doa Restu permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai berikut:

Diginjang ma arirang Di toru panggonggonan. Badanmuna na so jadi sirang Tondimu sai hot masigomgoman.

Bintang Na rumiris Ombun na sumorop. Anak pe riris Boru pe torop.

Dangka ni sitorop tanggo pinangait-aithon. Sai tubu ma anak dohot boru Sitongka ma panahitnahiton.

Sahat solu Sahat ma tu bontean. Sahat Ulos Mula Gabe tu hamu Sai leleng ma hita mangolu Sahut ma horas, sahat ma Tu panggabean, Boti ma.

  • Setelah selesai acara menyampaikan Ulos Mula gabe dilanjutkanlah acara makan bersama, maka Hula-hula memberi boru dan helanya makan khusus yang dibawanya, yaitu dengke sitiotio, dengke simudurudur dengan harapan dari orangtuanya kiranya Tuhan berkenan memberkati Boru dan Helanya, agar tiotio haroan (persalinan) yang akan datang dan agar mereka berdua selalu seia sekata dalam perjalanan hidup mereka (mudurudur). Acara makan bersama ini tentunya ditutup dengan Doa. Menurut kebiasaan pemberian Ulos Mula Gabe ini dilakukan di parnangkok ni mata ni ari, artinya pada waktu matahari sedang naik, jadi sebelum jam 12.00 Wib siang. Falsafahnya adalah merupakan doa, agar nasib dan keadaan anak yang akan lahir juga semua keturunan dari sipenerima Ulos Mula Gabe itu kiranya semakin naik seperti matahari. Dahulu kala yang ikut menyerahkan ulos tersebut hanya Suhut Bolon maksimal disertai 3-4 keluarga terdekat, dan yang menyambut kedatangannya pun Suhut Bolon Paranak cukup didampingi 3-4 keluarga terdekat. Jadi segera setelah pemberian ulos dapat dilanjutkan dengan acara makan bersama. Tetapi akhir-akhir ini yang ikut menghadiri acara demikian sudah cukup meluas, sampai 10-20 keluarga dari masing-masing pihak. Kalau semua keluarga bisa dapat hadir pada waktu yang ditentukan tidak menjadi masalah. Tetapi sudah menjadi kenyataan akhir-akhir ini pada pelaksanaan acara adat semakin dibiasakan untuk datang terlambat, ada sampai 1-2 jam yang pengaruhnya ialah jamuan makan terpaksa juga diundurkan menunggu para undangan. Namun keadaan demikian, sebaiknya tetap diusahakan agar penyerahan Ulos Mula Gabe, pada waktu Parnangkok ni mata ni ari jadi sebelum jam 12.00 wib siang, agar falsafah dan arti pemberian ulos itu tetap kelihatan dan dirasakan, tidak perlu menunggu sampai semua undangan hadir, sebab yang pokok adalah pemberian Ulos Mula Gabe. Masalah makan adalah soal kedua dapat dilanjutkan beberapa waktu kemudian.
  • Mengenai jenis Ulos Mula Gabe ada juga yang memberikan ulos Mangiring dengan harapan seiring dengan pemberian ulos ini diharapkan kelak agar hadir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ada pula yang memberikan Ulos Bintang Maratur yang menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Dengan harapan sebagai bintang yang teratur itu dapat hendaknya kelahiran anak laki-laki dan anak perempuan berjejer akan kelahirannya. Dalam menentukan jenis Ulos Mula Gabe ini, si calon Ibu bisa juga menyampaikan keinginannya yang mana yang lebih disukai dan biasanya keinginan itu akan disetujui oleh Orangtua.

Anak Lahir Dan Mampe Goar

Bilamana seorang Ibu melahirkan anak, disebutlah Ibu itu ditataring atau hodohan api, yaitu duduk/berada dekat satu perapian khusus dibuat untuk maksud itu, biasanya langsung di tempat bersalin di rumah atau sebutlah di kamar tidurnya oleh sebab dahulu tempat bersalin belum dikenal. Perapian itu ialah satu tempat yang kecil, dimana bisa dipasang dibuatkan api dengan mempergunakan kayu api atau pun arang. Maksudnya duduk dekat perapian itu ialah agar si lbu, terutama si bayi yang baru lahir, tetap bisa panas di waktu keadaan dingin terutama di malam hari. Di atas perapian itu sekaligus dipanaskan minuman terutama bahan sup untuk keperluan si lbu. Kegunaan minuman sup yang panas agar si Ibu selalu merasa dalam keadaan panas untk mempercepat pulihnya kesehatan dan kekuatan si Ibu juga penting untuk memperiancar ASI yang sangat diperlukan si bayi. Keadaan di tataring itu berlangsung lebih kurang 7 hari tergantung pada pulihnya kesehatan si Ibu. Setelah kesehatan si Ibu, sudah pulih kembali dan si bayi pun sudah segar bugar tidak kurang suatu apa pun. Pada zaman dahulu ada melaksanakan suatu upacara yang dinamai “Martutu Aek”. Pada waktu itu si bayi dibawa oleh Ibunya atau neneknya untuk mandi di satu mata air atau pancuran yang terdekat atau pergi ke tepi pantai misalnya di Danau Toba-Samosir dengan diikuti oleh keluarga terdekat. Sesudah itu rombongan pulang ke kampung dan selama di perjalanan itu mereka berulang-ulang mengucapkan: “Horas, Horas, Horas”. Upacara tadi disambung dengan suatu acara sukaria di rumah orangtua si anak yang berbahagia itu yang disebut acara Esekesek dengan ucapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kepada si Ibu dan kepada anak yang baru lahir. Biasa kita dengar acara ini disebut “Mangharoani”, artinya menyambut tibanya sang anak.

Dalam acara demikian biasanya pihak Hula-hula membawa sesuatu makanan khusus yang disebut juga “Mamboan Aek ni Unte” dilengkapi dengan makanan yang enak rasanya dengan masakan bumbu “Bangun-bangun” semuanya dengan maksud memperlancar air susu Ibu. Acara gembira-ria ini biasanya orangtua keluarga ini mengundang para Ibu-ibu sekitar lingkungan kampung itu untuk datang ramai-ramai menghadiri acara makan bersama ini. Dahulu kala tidak lupa juga turut mengundang Sibaso (bidan) yang membantu si Ibu dalam melahirkan bayinya sekaligus untuk mengucapakan terima kasih.

Baptisan Kudus

Setelah mendengarkan warta Jemaat bahwa di Gereja akan ada waktu mengadakan Pembaptisan kepada anak-anak, maka Bapak bersama Ibu dan anak itu akan menghadiri acara parguruon yang diatur oleh pengurus Jemaat. Pada waktu itu dilaporkanlah data-data pribadi dari sang anak untuk bahan mengisi Kartu Pembaptisan si anak.

Pada waktu yang ditentukan pada suatu hari tepat pada hari Minggu disanalah dilaksanakan Acara Pembaptisan anak tersebut. Pendeta mengucapkan:

“Ya… aku membaptiskan engkau ke dalam nama Allah Bapa dan ke dalam nama AnakNya Yesus Kristus dan ke dalam nama Roh Kudus, Amen”.

Sesuai dengan iman kepercayaan kita sebagai umat Kristen bahwa anak tersebut telah masuk ke dalam Keluarga Kerajaan Allah dan dianugerahi kehidupan yang kekal di surga. Bagi anak-anak yang teiah dibaptis (sejak anak-anak) perlu dilanjutkan (terus menerus) pengajaran Firman Tuhan, pengetahuan, pemahaman dan melakukan Firman Allah, melalui bimbingan Orangtua dibantu oleh guru-guru Sikola Minggu dan atas pimpinan Pengurus Jemaat Kristen.

  • Ulos Parompa – Selanjutnya kita membicarakan tata cara pemberian Ulos kepada anak yang baru lahir. Ulos yang diberikan kepada anak yang baru lahir disebut namanya “Ulos Parompa” yang dimaksud satu ulos yang dipakai untuk mangompa (menggendong) si anak. Yang diberikan oleh Hula-hula biasanya adalah Ulos Mangiring yang bermakna agar si anak untuk selanjutnya pun mangiringiring di anak dohot boru, artinya memperoleh anak laki-laki dan perempuan untuk diiringiring oleh orangtuanya. Setelah selesai acara Baptisan di Gereja, biasanya keluarga yang bersangkutan mengadakan satu jamuan syukur ala kadarnya di rumah. Pada waktu inilah si anak secara resmi memperoleh Ulos Parompa dan yang memberikannya ialah pihak Hula-hula yaitu orangtua dari si isteri. Pada tahun-tahun terakhir ini sedikit berkembang yakni ikut juga beberapa horong Hula hula dan kalangan pariban turut juga memberikannya tanda kasih disertia ucapan syukur ke hadapan Tuhan.

Mampe Goar

Ada satu acara adat yang cukup penting pada waktu pemberian nama pada seorang anak yang akan dialami oleh setiap keluarga. Menurut adat-istiadat Batak bilamana seorang anak pertama (laki-laki atau perempuan) memperoleh namanya, maka sekaligus terjadi mampe goar, yang ikut memakai nama si anak. Yang mampe goar ini ada 2 tingkat yaitu yang mampe goar hanya 3 orang atau 55 orang, yang akan diuraikan berikut ini:

Jadi bila si anak diberi nama si Horas maka sejak itu bapaknya mendapat nama Ama Horas biasanya nama bapak ini dipanggil dengan ucapan Pak Horas dan dan Ibunya diberi nama Nai Horas atau Nai Horas (Ibu si Horas).

Dalam hal ini yang mampe goar adalah 3 orang, si anak, si bapaknya dan ibunya. Dalam keadaan demikian ke dua orangtua yang mampe goar diberikan juga Ulos oleh Hula-hulanya.

Ulos yang diberikan pada waktu mampe goar biasanya ulos Mangiring atau Ulos Bintang Maratur, disampirkan dari depan mangulosi si anak yang berada di pangkuan lbunya. Tentu dengan ungkapan dan pepatah petitih (umpasa Batak Toba) seperlunya menurut selera masing-masing, misalnya:

“Ale Uncok mulai sadari on nunga dibahen goarmu si Horas. Sal anggiat ma goarmu saurmatua i, na mura pajoujouon. Hipas ma ho manjujung goarmu, jala sai siboan tua ma i di ho dohot di natorasmu. Dison hupsahat hami ma tu ho na gabe ulos parompam sada Ulos Bintang Maratur. Asa pangidoannami di bagasan tangiang nami tu Tuhanta, sai sogon bintang ma ho di jolo ni natorasmu, laos songon i na boi maratur tumogihon angka tinodohonmu di tubu ni anak dohot boru angka na ringgas martangiang tu adopan ni Tuhanta saleleng di ngolum tu joloan ni ari on”.

Penggeng laho matua. Sai horas-horas ma ho Sitongka panahit-nahiton.

Kemudian kepada kedua orangtuanya diberikan Ulos Pargomgom Mampe Goar biasanya diberikan Ulos Suri-suri Ganjang disertai ungkapan seperlunya.

“Hamu helanami dohot Borunami sadari on goar ni pahompunami anak buha bajumuna si Horas on songon ruhut ni adatta na dohot ma hamu mamampe goar i gabe marpanggoaran ma hamu Ama Ringgas dohot borunami Nai Horas.

Sada hasangapon do i patudu hatuaon. Asa sian balga dohot las ni rohanami ampehononnami do tu hamu Ulos Suri-suri Ganjang. Songon partanda di tangiang nami di hamu, anggiat tung ganjang ma antong umurmu mamboanhon goar ni pahompunami naung ni pampe muna i mulai sadari on”. Songon hata ni umpasa ma dohonan;

Mangihut simarbulu-bulu Sai ganjang ma umurmu Tu lelengna hamu mangolu Ro di na sarsar uban di ulu Sahat tu na pairingiring pahompu.

Pir ma pongki. Bahulbahul pansalongan Sai pir ma tondi, tu gandana ma pansamotan.

Eme sitambatua, Parlinggoman si Siborok. Tapuji ma Debata Na martua Sahat ma hamu horas Saurmatua diparorot.

Sambil mengucapkan umpasa ini disampirkan ulos itu mulai sebelah kanan Helanya melalui punggung di atas bahu ke sebelah kiri Borunya sampai dipegang ujung ulos itu di depan.

Demikianlah pemberian ulos kepada anak sulung. Pada anak kedua dan selanjutnya pihak Hula-hula memberikan ulos parompa dari jenis ulos Mangiring atau Ulos Sitoluntuho, ada juga yang menyampirkan Ulos Ragi Hotang kepada orangtuanya tidak ikut lagi diberikan Ulos.

Kepada kedua neneknya yang ikut mampe goar juga diberikan ulos pada umumnya jenis ulos Sibolang tetapi ada juga yang memberikan Ulos Sitoluntuho tergantung kepada kebiasaan daerah masing-masing. Ungkapan berikut dapat disamapikan.

Hamu Lae/ ito Nunga saut na taparsinta dilehon Tuhanta jumpang na niluluan dapot na jinalahan. Sadari on mangalehon goar ni pahompunta hita. Marbonsir sian i ma Lae/Ito mulai sadari on dohot ma hamu mampe goar jadi mar-Ompu Horas. Mauliate ma tadok tu Tuhanta Pardenggan Basa i. Dison sian las ni roha nami pasahaton nami do tu hamu sada ulos Parhorasan, Panggabean sai las ma rohamu manjalosa. Songon hata ni umpasa ma dohonon:

Andor hadungka ma togutogu ni lombu Andor rantiti ma togutogu ni horbo. Sai sahat ma hamu saurmatua Mamboan goarmu i pairingiring pahompu Sahat tu na marnini jala marnono.

Eme na marbiur di lambung ni hariara. Sai matorop ma pomparan maribur jala matangkang majuara.

Demikianlah bilamana anak yang diberi nama itu adalah anak Sulung dari anak Sulung jadi buat si nenek adalah cucu tertua (pertama) dari anak laki-laki tertua. Hal itu perlu dijelaskan untuk membedakannya dengan dua kemungkinan yang terbuka dimana si nenek juga dapat mempergunakan gelar Ompu dari cucunya, tetapi bukan yang mampe goar seperti yang diterangkan dibawah ini.

Setelah ada cucu dari anak laki-laki tertua gelar itu akan diganti menjadi Ompu Horas, dan pada waktu inilah terjadi “Mampe Goar” yang untuk seterusnya tidak akan diganti lagi.

Adalah merupakan satu kehormatan bila seseorang disebut dengan nama “Panggoarina”, yaitu nama dari anaknya yang ikut dia mampe. Dan orang lain pun akan segan menyebut nama tardidinya, misalnya Paulus, bila dia sudah mempunyai anak bernama Horas dia akan dipanggil Ama Horas. Itu menandakan telah menduduki satu tingkat hatuaon tertentu.

Demikian juga untuk seseorang yang sudah mempunyai cucu merupakan satu kehormatan nama “Hatuaonna” Ompu Horas menandakan sudah mencapai tingkat kesempurnaan hagabeon menurut adat-istiadat Batak, mencapai tingkat marpahompu (ada cucu). Maka anak kedua itu “Mampe Goar” menjadi Ama Tinggi. Si Nenek akan memakai nama cucunya itu menjadi Ompu Tinggi, tetapi itu bukan yang disebut mampe goar. Segera setelah anak laki-laki tertua memperoleh anak dan diberi nama si Horas maka nama gelar Ompu Tinggi diganti menjadi Ompu Horas dan pada waktu itulah neneknya disebut “mampe goar” dan untuk seterusnya tidak lagi.

Belajar Sidi

Pada umur belasan tahun yaitu pada waktu seorang pemuda dan pemudi mencapai tahap masa remaja ia harus lagi tekun belajar mengikuti pelajaran Sidi kira-kira I tahun lamanya baru dilakukan acara Naik Sidi di Gereja (Manghatindanghon Haporseaon) pada suatu hari kebaktian Acara Minggu di Gereja. Setelah itu barulah mereka dapat mengikuti Acara Perjamuan Kudus karena sudah dianggap dewasa di dalam iman.

Pemberian Ulos Pada Waktu Meninggal

Masyarakat Batak dalam perjalanan hidupnya, tidak dapat terlepas dari Adat Batak. Dari semasa dalam kandungan dan sejak lahir sampai meninggal dunia, adat selalu mewarnai perjalanan hidupnya.

Pada kesempatan ini alangkah baiknya kita terlebih dahulu memahami kategori orang Batak Toba ketika meninggal dunia (monding). Ada kategori (gelar) bagi orang Batak Toba, bila menutup mata selama lamanya (monding) sebagai berikut:

  • Mate Sarimatua – Yang dimaksud dengan istilah “Mate Sarimatua” adalah bagi mereka-mereka yang telah dikaruniai Tuhan anak laki-laki dan perempuan dan telah mempunyai cucu tetapi masih ada diantara anaknya yang belum berumah tangga yang jelas masih tanggungan orangtua. Perkataan Sarimatua terdiri dari dua kata dasar, yakni “Sari” dan “Matua” Kata Sari berarti masih ada yang harus “Disarihon” atau masih ada yang dipikirkannya yang masih menjadi tanggungannya. Kata “matua” berarti pada waktu dia meninggal dunia sudah mencapai usia lanjut yang ukurannya telah mempunyai generasi penerus minimum dua derajat yaitu anak, cucu.
  • Mate Saurmatua – Yang dimaksud dengan istilah “Mate Saurmata”, adalah bagi mereka-mereka yang telah dikaruniai Tuhan anak laki-laki dan anak perempuan dan sudah berumah tangga dan dari anak-anaknya tersebut telah dikaruniai pula cucu-cucu dan bahkan cicit. Perkataan “Saurmatua” terdiri dari dua kata dasar yakni “Saur” dan “Matua”. Kata Saur berarti cukup gabe dalam keturunan, karena sewaktu dia meninggal dunia, tidak ada lagi yang ditinggalkannya yang masih harus jadi tanggungannya. Perkataan “Matua” berarti pada waktu ia meninggal dunia dia sudah mencapai usia lanjut, yang ukurannya telah mempunyai generasi penerus minimum dua derajat, yaitu anak cucu.
  • Mate Saurmatua Bulung – Yang dimaksud dengan “Mate Saurmatua Bulung”, adalah bagi mereka yang anak-anaknya laki-laki dan anaknya perempuan sudah berumah tangga, bahkan anak-anak yang sudah berumah tangga tersebut sudah mempunyai anak dan cucu, cicit. Jadi orangtua yang meninggal tersebut adalah orangtua yang sudah tergolong kategori “gabe” karena sudah mempunyai generasi penerus tiga derajat, yaitu anak, cucu, cicit. Dalam bahasa Batak orangtua yang meninggal tersebut dijuluki sudah Marnini Marnono.
  • Mate Hadiaransa (Mate di paralangalangan atau mate mangkar) – Selain dari pada ketiga kategori kematian tersebut di atas, dalam masyarakat Batak Toba kita kenal juga kematian “anak-anak/remaja muda-mudi” yang belum dapat digolongkan dalam ketiga kategori tersebut di atas yang biasa disebut mate di paralangalangan atau mate mangkar. Penyelesaian adat acara pemakaman masing-masing dilakukan sebagai berikut: Setelah diampu oleh hasuhuton langsung diserahkan kepada Pengurus Jemaat untuk acara penghiburan di rumah dan seterusnya acara pemakamannya di tempat kuburan (Udean)-nya. Sedikit penjelasan dalam hal meninggal dunia seperti ini, tidak ada diberikan ulos adat. Kalaupun ada kelihatan di atas peti mayatnya yang meninggal tersebut satu ulos itu adalah yang diletakkan oleh orangtuanya sendiri sejenis Parompa, mungkin sekali ulos parompa yang diterimanya sewaktu kecil, tetapi bisa juga sembarang ulos parulangolangan dan sifat kematian demikian disebut “Mate Hadiaransa”.
  • Mate Mangkar – Apabila si suami yang belum tergolong kategori Sarimatua, Saurmatua atau Saur Matua Bulung yang meninggal dunia itulah yang disebut “Mate Mangkar”. Ulos Saput diberikan oleh Tulang (paman) untuk berenya yang meninggal itu dan isterinya yang masih hidup diberikan “Ulos Tujung” oleh Hula-hulanya. Apabila si isteri yang meninggal, ulos Saput diberikan oleh Hula-hula dan kepada suami yang hidup diberikan Ulos Tujung biasa oleh Tulang. Dan ulosnya adalah dari jenis Ulos Sibolang, tetapi dibeberapa daerah yang memberikannya adalah Tulangnya.
  • Sarimatua, Saurmatua atau Saurmatua Bulung – Apabila si suami yang tergolong kategori Sarimatua, Saurmatua atau Saurmatua Bulung yang meninggal dunia Ulos Saput untuk ketiga kategori teresbut diberikan oleh Tulang, sedangkan untuk isterinya yang masih hidup, oleh Hula-hula diberikan Ulos Sampetua, biasanya dari jenis Ulos Sibolang. Jika si isteri dari ketiga kategori tersebut yang meninggal dunia yang berkewajiban memberi Ulos Saput adalah Hula-hula, sedangkan untuk suaminya yang masih hidup diberikan Ulos Sampetua juga dari Ulos Sibolang oleh Tulang. Untuk pemahaman kita bersama cara penyelesaian acara adat pemakaman seperti tersebut di atas tidak mutlak berlaku di semua daerah, karena mungkin saja ada daerah yang berbeda pelaksanaannya.

Tata cara pemberian ulos bilamana seseorang yang sudah kawin meninggal dunia terjadi penyerahan Ulos. Dibawah ini diberikan uraian tentang 3 macam ulos tersebut:

Cara pemberian Ulos Sampetua yang diberikan kepada suami dan isteri yang berduka karena meninggalnya (suami atau istri) bagi yang tergolong kategori Saurmatua, Saurmatua Bulung. Ulos tersebut diberikan adalah semata-mata merupakan tanda berkabung. Cara penyampaiannya, tidak dikerudungkan di atas kepala yang berduka tetapi diletakkan di atas bahu bagi penerimanya cukup saja diuloshon dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Batak Toba: Hamu Namboru (atau Amangboru) naung ganjang do umur ni Amangboru (manang Namboru) dilehon Tuhanta sahat tu na Saurmatua, Saurmatua Bulung jala torop pinompar ni anak dohot pinompar ni boru sahat gabe marnini jala marnono. Ndang tama be hita didondoni arsak ni roha, alai saluhutna i taboan ma dibagasan tangiang huhut mandok mauliate tu Tuhanta siala godang ni denggan basana na tajalo di ngolunta. On pe pasahatonnami do tu hamu Ulos Sampe Tua mardongan tangiang nami, sai boi dope dilehon Tuhanta i gumanjang umur muna dibagasan hahipason dohot las ni roha pairingiring angka pomparanmi. Bagi yang menerima ulos Sampatua pada dasarnya tidak dibenarkan lagi kawin, kecuali ada pertimbangan yang sangat urgent.

Penerima Ulos Sampetua tidak ada lagi dilakukan acara pembukaan. Karena pemberian ulos ini adalah bermakna ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya kepada suami atau istri yang meninggal telah mencapai usia lanjut dan menikmati hagabeon telah dikaruniai Tuhan beranak cucu atau cicit.

Cara pemberian Ulos Tujung ialah menyampirkan dari sebelah kanan melewati di atas kepala sampai ke sebelah kiri, biasanya sampai menutupi muka yang bersangkutan. Cara pemberian seperti di atas adalah terutama bila yang meninggal itu masih ada tanggung jawab terhadap anak-anaknya, masih sekolah atau belum kawin. Sifat meninggal demikian disebut “Mate Mangkar”. Sambil memberikan Ulos Tujung yang biasanya terjadi dengan penuh haru, ungkapan berikut misalnya dapat diucapkan: “Hamu Ito (bila suami yang meninggal), “Hamu Hela (bila si isteri yang meninggal), ruhut ni adatta do molo masa sitaon on arsak ni roha na ampe tu pargellengon na songon on, mangihuthon adat pasahatonnami ma Ulos on, huhilala rohanami do dokdok ni panghilalaan muna siala sitaonon on. Jadi dohononnami ma, saluhut angka na masa tangkas do i diida jala diboto Tuhanta, jadi gogo ma hamu martangiang anggiat tibu dilehon Tuhanta apulapulna na sumurung i tu hamu. Asa marbenget ni roha jala margogo hamu satongkin di parungkilon na ampe tu hamu di tingki on jala asa dipadao Tuhanta i ma arsak ni roha dohot pandeleon sian hamu. Tu Tuhanta i ma arsak ni roha dohat pandeleon sian hamu. Tu Tuhanta i ma pasahat hamu arsak ni rohamuna on, ai Ibana do pangapul na lumobi. Ingot hamu ma: Hotang binebe bebe Hotang pinulos pulos Unang hamu mandele. Ai godang do tudostudos. Boti ma.

Untuk dipahami saja bahwa Ulos Tujung adalah satu ulos yang diberikan Hula-hula kepada yang ditinggalkan yaitu Janda atau Duda. Falsafah pemberian ulos ini adalah suatu pengakuan resmi dari kedudukannya seorang yang menjadi Janda atau Duda berada dalam satu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang, ditinggalkan untuk selama-tamanya oleh teman sehidup semati. Sekaligus berupa pemyataan turut berdukacita yang sedalam-dalamnya dari pihak Hula hula. Ulos Tujung biasa kita lihat diberikan dari jenis Ulos Sibolang, yang memberikan Ulos Tujung harus orangtua langsung dari si isteri jikalau tidak bisa hadir atau sudah meninggal oleh abang/adik kandung si isteri pokoknya dari keluarga terdekat dari Hula hula itu. Biasanya Ulos Tujung diberikan pada hari pertama yang meninggal itu, tetapi ada juga yang memberikan pada pagi hari penguburan.

Acara Membuka Tujung – Pada tahun-tahun terakhir ini telah kita lihat bahwa acara pembukaan tujung itu biasa dilakukan pada malam harinya setelah kembali dari tempat penguburan. Yang mengadakan acara pembukaan tujung itu ialah pihak Huiahula yang dulunya pihak yang menyampaikan ulos tersebut kepada Borunya. Untuk pelaksanaannya acara ini telah disiapkan lebih dahulu bahan-bahan yang diperlukan untuk itu yaitu air putih dalam baskom, air putih bersih satu gelas, sekedarnya beras di dalam sebuah piring. Dimana Janda atau Duda yang bersangkutan sudah duduk dengan memakai Ulos Tujung di atas kepalanya didampingi oleh anak-anaknya. Hula-hula datang mendekat dengan bahan-bahan yang telah disiapkan. Mula-mula dibukalah Ulos Tujung dari kepala yang bersangkutan dan dilepaskan dari badannya dan biasa terus dilipat dan diletakkan di samping sambil mengucapkan kata-kata berikut:

Hamu Borunami/Helanami. Dapot ma tingkina ungkaponnami tujung on sian Simanjujung muna. Sai bungka jala ungkap ma ari na tiur di hamu. Sai lam tu neangna ma panghilalaanmuna asa lam sumuang gogomu tu joloan ni ari on, marhitehite asi ni Tuhanta. Ihut tusi dibuat ma aek na di baskon i, dung i disuaphon ma 2 hali tu bohi ni na sinuapan i huhut ma didok: Husuapi ma hamu dohot aek sitiotio on, asa tio ma parnidaonmuna asa minar nang panailimuna. Diapusi Tuhanta ma iluilu sian simalolongmuna asa tangkas tiur ari idaonmuna, laho mandalani ngolumuna tu joloan on. Sai dapot ma di hamu songon nidok ni umpasa:

Sai bagot na madungdung ma tu pilopilo na marajar, Sai salpu ma na lungun Sai ro ma na jagar.

Dung i, dipainumhon aek sitiotio na di galas i. Huhut didok, mum hamu ma aek sitiotio on. Asa sai tio ma pardalananmuna tio parhorasan dohot panggabean tu joloan on ditumpak asi ni roha ni Tuhanta.

Pangujungina dijomput ma boras na sian bagasan piring i diampehon tu ulu ni Boru/Hela i, huhut dihatahon umpasa:

Tinapu ma bulung siarum Bahen uram ni porapora Tibu ma na hansit I malum Soluk ma ro silas ni roha.

Eme Sitamba Tua Parlinggoman si Siborok Tuhanta ma silehon tua Hipas hipas ma hamu diparorot.

Udut tusi dijomput ma muse boras i diampehon tu simanjujung ni angka ianakhonna i sude. Dung i rap mandok ma Horas 3 kali. Demikianlah tata cara adat berkaitan dengan memberi dan membuka tujung.

Seterusnya dilanjutkanlah acara itu dengan makan bersama. Biasanya Hula hula telah siap membawa Indahan apul-apul dan menyampaikan dengke sitio-tio, dengke sahat agar keluarga Borunya itu dapat hendaknya terhibur dan sahat tarapul pada masa-masa yang akan datang.

Makna dari “Buka Tujung” ialah bahwa sejak Tujung dibuka maka Janda atau Duda yang bersangkutan sudah bebas, bolehlah bebas bekerja, mengerjakan pekerjaannya yang biasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga untuk mengurus anak-anak sekolah yang masih memerlukan bimbingan dan pengurusan seperlunya. Bilamana yang dibuka Tujung itu adalah si suami (isterinya yang meninggal) maka di dalam buka tujung itu terselip satu makna dari pihak Hula-hulanya bilamana ketemu jodoh sudah diikhlaskan untuk kawin lagi. Menurut Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon (RPP) HKBP 1987 Bab IV-1-7, telah diatur mengenai hal ini sebagai berikut: Adalah menjadi fakta dalam kehidupan masyarakat Batak bahwa seorang istri yang jadi Janda, bilamana telah memperoleh anak, terutama laki-laki, tidak ada niat lagi untuk kawin, tetapi terus akan mengurus dan membesarkan anak-anaknya dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya, sampai dia tua dan meninggal sebagai paniaran dari kelompok marga suaminya. Pendeknya si janda, biar pun masih relative muda, akan menjunjung tinggi peninggalan dan marga suaminya yang juga adalah marga dari anak-anaknya.

Apabila suami yang meninggal dunia baik ia meninggal di paralangalangan yang disebut “Mate Mangkar” maupun meninggal dalam kategori “Sarimatua, Saurmatua atau Saurmatua Bulung”. Tulangnya yang tetap berkewajiban memberikan Ulos Saput.

Disinilah secara jelas kelihatan indahnya adat Batak Toba itu, karena tata hubungan kekeluargaan itu dijaga ketat dan tetap terpelihara sampai tua, contohnya: Pada waktu perkawinan berenya Tulangnya itulah yang berhak “Sijalo Tintin Marangkup”, untuk realisasinya orangtua pengantin wanita dan orangtua pengantin pria secara bersama-sama datang menjumpai Tulang dari pengantin pria di tempat duduknya. Orangtua pengantin wanita berkata: “Hamu haha ni parhundul nami, marga … godang do hujalo hami Sinamot ni Borunta i, uli ma rohamu manjaloon, Pangintubu do hami di borunta i, anggo painundun hamu do”. Artinya, orangtua pengantin wanita menyerahkan sejumlah uang sebagai bagian dari Sinamot yang diterimanya pada Tulang dari helanya yang disebut “Jambar Tintin Marangkup”. Dengan demikian Tulang dari pengantin pria berkewajiban memperlakukan istri dari berenya itu sebagai borunya. Perlu dijelaskan bahwa kebiasaan yang berlaku di masyarakat Batak Toba, demikian juga kita lihat di Bona Pasogit bahwa yang disebut Ulos Saput adalah dikembangkan di atas peti mayat di sana disebut Ulos Tutup Batang (Ulos Penutup Peti Mayat). Ulos ini nantinya akan diambil oleh boru dari Suhut Bolon. Bilamana bapaknya yang meninggal dunia yang berhak mengambil Ulos Tutup Batang itu adalah Boru siangkangan. Dan sekiranya Ibunya yang meninggal dunia itu, yang berhak mengambil Ulos Tutup Batang itu ialah Boru Siampudan.

Jadi tata cara penyerahan ulos ini hanya diherbangkan di atas peti mayat tersebut dengan tentu disertai ucapan-ucapan pepatah-petitih Batak Toba oleh Tulang sebagai kata-kata penghiburan kepada keluarga berenya yang berdukacita. Biasanya ulos yang dipakai sebagai ulos adat yang diberi nama ulos Saput dan juga ulos Tujung adalah dari jenis Sibolang.